Semoga Dengan Bacaan Ini Bangsa Indonesia Tidak Lagi
Hanya Sibuk Di Salon Kecantikan dalam Memperingati Hari Kartini
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi
atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat,
bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri
utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah
dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari
sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hinggaHamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan
kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang
bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya
menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung
Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi
bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini
adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua
saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya,
Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.
Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang
bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School).
Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia
12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Surat Curhat Galau
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai
agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya
mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama
Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai
agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran
terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar
bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti
Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang
dibaca.
Aku
pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang
dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris,
tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan
waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa
perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar
menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku
mengerti artinya.
Jangan-jangan,
guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya,
nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci,
sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Bertemu Kyai Sholeh Darat
Kalau
membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari
Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut
feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru
mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.
Mengapa?
Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan
dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah
kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliu
sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar
dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat.
Alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak
menuliskan kisah ini.
Takdir,
menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel
Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak
Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kemudian
ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini
menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh
Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA
Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.
Kyai
Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini
tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan
mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi
kata yang disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah
pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai
Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini
merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai,
selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al
Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah,
menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai
Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini
melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun,
aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan
penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah
bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog
berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa
berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran
Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke
dalam Bahasa Jawa.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Dalam
pertemuan itu RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena
menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui
artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang
orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar larangan
ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab
gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman,
tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab
ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah
dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat
menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama
ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya.
Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna
tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa
yang saya pahami.”
{inilah
dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan
surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan, (penulis red)}.
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam
banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari
gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Surat
yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim.
Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya.
Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual.
Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat
Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah
lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar
yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat
Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah
dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut
disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
Saya
bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap
menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja
membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Siapa Simbah Kyai Sholeh Darat Semarang itu?
Salah ulama’ yang merupakan embahnya
para ulama di Jawa adalah Kyai Saleh Darat, seorang waliyullah yg menjadi guru
dari ulama-ulama’ yang mendirikan NU dan Muhammadiyyah, seperti KH. Hasyim
Asy’ari, KH Mahfuzd (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Ponpes Jamsaren, Solo), KH Sya’ban (ulama ahli
falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar
(pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak Yogyakarta),
selain itu beliau juga merupakan guru spiritualitas RA. Kartini. Dengan
demikian dapat dikatakan, Kiai Saleh Darat merupakan guru bagi ulama-ulama
besar di Tanah Jawa. Bahkan Nusantara. Memang, Kiai Saleh Darat tak sepopuler
tokoh lain. Ironis? Tentu saja. Sebab semasa hidupnya, Kiai Saleh Darat mashur
di seantero Tanah Jawa, Nusantara, bahkan Asia Tenggara sebagai penulis
kitab-kitab fikih, teologi, tassawuf, serta ilmu falak dengan gaya pegon
(berhuruf Arab dengan bahasa Jawa).
Perjalanan Intelektual Beliau KH.Soleh
Darat merupakan sosok ulama yang memilki andil besar dalam penyebaran Islam di
Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang. Kiai Saleh Darat lahir di Desa Kedung
Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820 dengan
nama Muhammad Shalih. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan
nama Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar Alsamarani. pemberian nama Darat
diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai utara
Semarang yakni, tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat
tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto.
Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan
Semarang Utara.
Ayahnya, KH Umar, adalah ulama
terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda
di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya,
Saleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat
KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in,
Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).
Kyai Saleh Darat menimba ilmu di
pesantren-pesantren pada jamannya, ia banyak berjumpa dengan kyai-kyai masyhur
yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin, dan kemudian menjadi
gurunya. Di antara nama kondang tersebut salah satunya adalah K.H. M. Sahid
yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama asal Desa
Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yang hidup di jaman Mataram Kartosuro pada
sekitar abad ke-18. Dari Syaikhnya itulah, ia belajar beberapa kitab fiqh,
seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib.
Terdapat catatan bahwa, karena kitab-kitab tersebut bukanlah “kelas” pengantar,
maka mempelajarinya tak pelak membutuhkan waktu relatif lama. Safari perjalanan
keilmuannya berlanjut kepada Kyai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di
Kudus. Dari padanya beliau mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti. Di Semarang
beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kyai Iskak Damaran, kemudian belajar
ilmu falak dari Kyai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Berlanjut kepada
Ahmad Bafaqih Ba’lawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya
Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali.
Masih di kota loenpia, Semarang-lah,
Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi
tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke- 19, dicernanya
dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani. Tak pernah puas, haus ilmu, itulah
sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kyai Syada’ dan Kyai
Murtadla’ pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu.
Setelah menikah, Sholeh Darat
merantau ke Mekkah, Di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar,
antara lain Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh
Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf
Almisri serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa santri seangkatannya, antara
lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.
Sepulang dari Makkah, Muhammad Saleh
mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadlo. Semenjak
kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat. Di pesantren inilah
ulama’-ulama’ seperti ; KH Sya’ban, Kiai
Moenawir, KH Ahmad Dahlan, KH Idris, KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd
menuntut ilmu kepada beliau.
Kepribadian beliau Beliau adalah
sosok yang sederhana dan bersahaja, Kesederhanaan yang ditopang kebersahajaan
pribadinya, membuatnya selalu merendah dan menyebut dirinya sendiri sebagai
orang Jawa yang tak faham seluk-beluk centang-perenang bahasa Arab. İni
terlihat dari karangan-karangan beliau dimana pada setiap prolog selalu
tertulis, “buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti
saya”. Dalam Terjemahan Matan al-Hikam pada pendahuluannya tertera begini, “Ini
kitab ringkasan dari Matan al-Hikam karya Al-Alamah al-Arif billah Asy-Syaikh
Ahmad Ibn Ata’illah, saya ringkas sepertiga dari asal, agar memudahkan terhadap
orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat paham
bagi orang yang belajar agama atau mengaji. Ternyata, basis pemikiran sederhana
ini, justru memotivasinya untuk melahirkan beragam karya intelektual yang
bertujuan terarah yakni, pembelajaran murah-meriah dan sederhana kepada orang
Jawa yang tak mengerti benar bahasa Arab. Niat tulus inilah yang di kemudian
hari diwujudkannya dalam bentuk buku tafsir atas kitab berbahasa Arab yang
telah disuntingnya ke dalam bahasa Jawa.
Pemikiran dan ajaran beliau Kyai
Saleh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah pendukung
paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap paham ini jelas
kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauhar at-Tauhid. Dalam
buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulillah SAW mengenai
terpecahnya umat islam menjadi 73 golongan sepeninggal Beliau, dan hanya satu
golongan yang selamat. Menurut Saleh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW
dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan
Ahlussunah Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Beliau juga mengajak
masyarakat untuk gemar menuntut ilmu. Kyai Saleh Darat selalu menekankan kepada
para muridnya untuk giat menuntut ilmu. Beliau berkata “Inti sari Alquran
adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi
tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat”. Kiai Saleh Darat memperingatkan kepada
orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya, bahwa ia akan
jatuh pada paham atau keyakinan sesat. Dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala
Jauharah al-Tauhid, KH Sholeh Darat menasehati bahwa, orang yang tidak
mempunyai ilmu pengetahuan sama sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham
dan pemahaman yang sesat. Sebagai misal, paham kebatinan menegaskan bahwa amal
yang diterima oleh Allah Ta ’Ala adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan
paham manunggaling kawulo Gusti-nya Syaikh Siti Jenar dan berakhir tragis pada
perilaku taklid buta. Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin,
demikian tegasnya. Lebih jauh diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak
terpesona oleh kelakuan orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi
meninggalkan amalan-amalan syariat lainnya, seperti sholat dan amalan fardhu
lainnya.
Kemaksiatan berbungkus kebaikan
tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah religius beliau. Sebagai
ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja
keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat
mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya
telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan
manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan.
Tradisi berpikir kritis dan
mengajarkan ilmu agama ini terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.
Karangan-karangan beliau KH Saleh darat banyak menulis kitab-kitab dengan
menggunakan bahasa PEGON ( hurup Arab dengan menggunakan Bahasa Jawa). Bahkan
Dialah pelopor penulisan buku-buku agama dalam bahasa Jawa. Beliau pula yg
menterjemahkan Alquran yakni Kitab Faid ar-Rahman yang merupakan Tafsir pertama
di Nusantara yang ditulis dengan Hurup Pegon, Terjemahan Alquran dalam aneka
versi bahasa, bukan hal asing lagi sekarang. Tapi, tidak di era akhir tahun
1800-an. Penjajah Belanda tidak melarang orang mempelajari Alquran, asal jangan
diterjemahkan. Beliau menabrak larangan tak tertulis itu dengan mengakalinya,
yakni dengan menulisnya menggunakan arab jawa atau Pegon sehingga tidak
diketahui oleh belanda. Kitab inilah yang beliau hadiahkan kepada RA Kartini
sebagai Kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat yang menjabat sebagai bupati
Rembang. Kartini sungguh girang menerima hadiah itu.
”Selama ini surat Al Fatihah gelap
bagi saya, saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini
ia menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekali pun,
karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami” demikian
Kartini berujar saat ia mengikuti pengajian Saleh Darat di pendopo Kesultanan
Demak.
Karya karya beliau lainnya adalah
Kitab Majmu’ah asy-Syariah, Al Kafiyah li al-’Awwam (Buku Kumpulan Syariat yang
Pantas bagi Orang Awam), dan kitab Munjiyat (Buku tentang Penyelamat) yang
merupakan saduran dari buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya Imam Al Ghazali, Kitab Al
Hikam (Buku tentang Hikmah), Kitab Lata’if at-Taharah (Buku tentang Rahasia
Bersuci), Kitab Manasik al-Hajj, Kitab Pasalatan, Tarjamah Sabil Al-’Abid ‘ala
Jauharah at-Tauhid, Mursyid al Wajiz, Minhaj al-Atqiya’, Kitab hadis al-Mi’raj,
dan Kitab Asrar as-Salah.Hingga kini Karya-karya beliau masih di baca di
pondok-pondok pesantren Di jawa.
Wafatnya Beliau Kyai Saleh Darat wafat
di Semarang pada hari “Jum’at Wage” tanggal 28 Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903
dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang. dalam usia 83 tahun. Meski
demikian, haul-nya dilaksanakan baru pada 10 Syawal. Itu semata-mata agar
masyarakat bisa mengikutinya dengan leluasa, setelah merayakan Lebaran dan
Syawalan. Pada hari itu masyarakat dari berbagai penjuru kota menghadiri haul
Kiai Saleh Darat di kompleks pemakaman umum Bergota Semarang. Banyaknya umat
yang hadir dalam acara itu, seolah menjadi tengara kebesaran namanya. Tak dapat
dipungkiri, ulama akbar itu memang telah menjadi ikon Semarang di masa lalu.
Sumber Referensi :
* http://pelitatangerang.xtgem.com/index/__xtblog_entry/62115-kh-sholeh-darat-semarang-jawa-tengah?__xtblog_block_id=1
* http://www.sarkub.com/2012/ra-kartini-dan-kyai-sholeh-darat-sejarah-bangsa-yang-digelapkan-orientalis-belanda/