Social Icons

Selasa, 03 Februari 2015

Materi dan Kekuasaan Jadi Tujuan Utama Pengusung Khilafah

Materi dan Kekuasaan Jadi Tujuan Utama Pengusung KhilafahTangerang, NU Online
Pusat Studi dan Pengembangan NU Santri Tangerang Raya (PSP Nusantara) mengadakan sarasehan kebangsaan bertajuk “Membongkar Bahaya Ideologi Radikalisme dan Terorisme”, Rabu (28/1). Diskusi terbuka ini menguak materi dan nafsu berkuasa sebagai motivasi gerakan gerombolan pengusung khilafah yang tidak lain.

Ken Setiawan dari NII Crisis Center lebih menceritakan pengalamannya saat menjadi anggota Negara Islam Indonesia (NII). Menurutnya, tujuan utama organisasi yang mengusung khilafah Islamiyah adalah materi dan  kekuasaan.

“Dengan keduanya itu, nilai keislaman yang universal tertutupi oleh rasa keinginan yang mendalam. Mereka akhirnya menghalalkan segala cara, proses taqqiyah (pembohongan menyelinap) pun menjadi metode yang diterapkan,” kata Ken dalam sarasehan di pesantren Jabal Nur, Cipondoh, kota Tangerang.

Ken mencontohkan bagaimana perekrutan anggota organisasi pendukung syariat Islam sebagai konstitusi dengan membenturkan calon anggota berpengetahuan keislaman yang minim dan kekurangan dari sistem pemerintahan Pancasila.

“Lalu ujung-ujungnya khilafah islamiyah atau pendirian negara Islam dijadikan sebagai solusi,” tegas Ken pada sarasehan yang dihadiri santri, anggota Ansor, anggota IPPNU, dan masyarakat Tangerang ini.

Hadir narasumber lainnya HM Qustulani dari Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Tangerang dan pimpinan pesantren Jabal Nur KH Saeful Millah. Sarasehan ini diadakan untuk membeberkan pemahaman yang utuh perihal keislaman di kalangan generasi muda Indonesia.

Direktur PSP Nusantara Hilman mengatakan bahwa lembaga yang tengah diamanahkan kepadanya bernaung di bawah Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) Tangerang. “Sebab itu, usaha membumikan bahaya radikalisme harus digelorakan demi keutuhan bangsa dan negara di masa depan, khususnya di Tangerang.”

Sementara Kiai Saeful, banyak nilai keislaman yang berbermakna untuk diterapkan dalam kehidupan yang beragam apalagi di Indonesia. Pasalnya, pedoman dasar masyarakat Indonesia mengacu pada demokrasi Pancasila yang mengedapankan asas mufakat.

“Seharusnya, nilai-nilai tersebut diterapkan dalam keseharian tanpa adanya pengafiran atau penyalahan kelompok tertentu atas nama agama,” kata Kiai Saeful.

Senada dengan Kiai Saeful, H Qustulani mengatakan bahwa tipe organisasi yang mengarah pada pragmatisme dan radikalisme ideologi adalah mereka yang mengusung khilafah Islamiyah dan menggugat demokrasi sebagai sistem kafir.

Ia mengingatkan peserta sarasehan untuk tidak tertipu dengan symbol-simbol atas nama agama. Untuk itu, mulai dari sekarang diri, keluarga, saudara serta teman harus dibentengi dari organisasi model seperti itu. (Marwata/Alhafiz K)

Sekilas mengenai sekte sempalan "NU Garis Lurus"


Sekilas mengenai sekte sempalan "NU Garis Lurus"

" NU GARIS LURUS" kui gaweane wong Nylenehhh !!! Ono " ae NU GARIS LURUS kui kelompoke wong sing ngaku paling bnerr , pdhl biasanya Merekka yg mengaku sbg penganut ajaran yg murni sbgmna yg diajarkan oleh pencetus atau pembawanya justru biasanya kelompok yg menyimpang, keras kepala dan destruktif, contohnya

1) Umat yahudi yg mengklaim sbg penganut dan penerus ajaran nabi ibrahim a.s. Nyatanya mereka bangsa yg tdk tahu menahu ttg nabi ibrahim a.s, krna bangsa yahudi itu baru muncul bbrpa ratus tahun stlh nabi ibrahim a.s wafat.

2) Umat wahabi yg mengaku sbg umat islam yg paling sesuai dg apa yg diajarkan oleh nabi muhammad saw, dibanding umat islam lainnya. Nyatanya umat wahabi itu baru muncul 12 abad stlh rasulullaj saw wafat.

Yahudi dan wahabi punya kesamaan karakter dg yahudi, dlm hal

a) Mereka sama-sama mengklaim sbg penganut dan penerus ajaran yg sesuai dg yg dicontohkan oleh pencetus dan pembawanya. Tapi sebetulmya mereka jauh dr apa yg diklaimnya.

b) Mereka keras kepala, intolerant dan suka menghujat, mencaci dan gemar melakukan kekerasan atas nama Tuhan dlm mendakwahkan ajaran yg dibawanya.

Nah skrg ada sebuah kelompok yg menyebut dirinya sbg NU Garis Lurus di mana mereka mengklaim sbg NU yg sesuai dg NU versi Mbah Hasyim, padahal mereka tdk hidup sezaman dg beliau.

Karakter NU Garis Lurus ini kalau kita amati juga punya kesamaan dg karakter yg dibawa oleh dul wahab gemar mencaci dan menganggap pihak lain sbg kelompok sesat. Wallahu a'lam
" NU GARIS LURUS" kui gaweane wong Nylenehhh !!! Ono " ae NU GARIS LURUS kui kelompoke wong sing ngaku paling bnerr , pdhl biasanya Merekka yg mengaku sbg penganut ajaran yg murni sbgmna yg diajarkan oleh pencetus atau pembawanya justru biasanya kelompok yg menyimpang, keras kepala dan destruktif, contohnya
1) Umat yahudi yg mengklaim sbg penganut dan penerus ajaran nabi ibrahim a.s. Nyatanya mereka bangsa yg tdk tahu menahu ttg nabi ibrahim a.s, krna bangsa yahudi itu baru muncul bbrpa ratus tahun stlh nabi ibrahim a.s wafat.
2) Umat wahabi yg mengaku sbg umat islam yg paling sesuai dg apa yg diajarkan oleh nabi muhammad saw, dibanding umat islam lainnya. Nyatanya umat wahabi itu baru muncul 12 abad stlh rasulullaj saw wafat.
Yahudi dan wahabi punya kesamaan karakter dg yahudi, dlm hal
a) Mereka sama-sama mengklaim sbg penganut dan penerus ajaran yg sesuai dg yg dicontohkan oleh pencetus dan pembawanya. Tapi sebetulmya mereka jauh dr apa yg diklaimnya.
b) Mereka keras kepala, intolerant dan suka menghujat, mencaci dan gemar melakukan kekerasan atas nama Tuhan dlm mendakwahkan ajaran yg dibawanya.
Nah skrg ada sebuah kelompok yg menyebut dirinya sbg NU Garis Lurus di mana mereka mengklaim sbg NU yg sesuai dg NU versi Mbah Hasyim, padahal mereka tdk hidup sezaman dg beliau.
Karakter NU Garis Lurus ini kalau kita amati juga punya kesamaan dg karakter yg dibawa oleh dul wahab gemar mencaci dan menganggap pihak lain sbg kelompok sesat. Wallahu a'lam

'Rapor' Merah Untuk Felix Yanwar Siauw


Muslimedianews.com ~ Artikel dengan judul "SEBUAH “RAPOR” UNTUK FELIX SIAUW" yang ditulis oleh Edi Akhiles di blog pribadinya ediakhiles.blogspot.com para 21 Januari 2015 menarik untk disimak semua orang.

Banyak nitizen yang menyambut baik artikel tersebut, tetapi seperti biasa layaknya fans, para pendukung Felix tidak begitu saja menerima, dan komenter bernada negatif kerap kali muncul.

Edi Akhiles dalam hal ini menyajikan sebuah teks tulisan yang siapapun boleh setuju atau tidak setuju terhadap isi tulisan tersebut. Berikut tulisan Edi Akhiles tersebut:

***
Rapor ini saya tulis dalam keadaan sadar; sadar bakal banyak jamaah Felix yang gedek, lalu (seperti biasanya) ngejudge saya liberalis, JIL, atau Syi’ah, dan ujungnya dikafirin. Tetapi, tulisan ini tetap harus saya tuliskan dengan utuh, dalam rangka bersikap kritis atas rasa nyesek saya melihat tampang Islam ala sosmed yang kian “dangkal, gampangan, galak”, di kalangan anak-anak muda yang tak berkesempatan nyantri dan sekolah Islamic Studies yang intensif.
 
Saya saranin panjenengan baca tuntas tulisan ini, lalu monggo direnungkan. Tulisan ini panjang, jadi sediakan waktu luang, jangan menyimpulkan sepenggal-sepenggal. 

Pertama, khilafah. Kita tahu Felix adalah pejuang khilafah (pemerintahan Islam) di Indonesia. Di bio Fans Page-nya, dengan terbuka ia menuliskan hal itu. Ia berdiri sejajar bersama kelompok HTI di sini. Setidaknya, secara ideologis. Gerakan ini bisa diurai dari Ikhwanul Muslimin, Mesir.
Ia pernah menulis begini: “Nasionalisme itu tak ada dalilnya, lebih jelas membela Islam, jelas dalil dan pahalanya.
Ia pun pernah mengaplod sebuah video di Youtube yang menyajikan forumnya tentang khilafah. Dengan bersemangat, ia menyimpulkan bahwa menegakkan khilafah itu kewajiban bagi umat Islam. Ia mengutip beberapa ayat tentang politik Islam, juga sejarah Ottoman. Meski ia tampak tidak menguasai Ilmu Nahwu lantaran salah baca harakat slide Arab gundul yang ditayangkannya, juga “salah ingat” ketika mengatakan bahwa pengarang kitab Al-Muwattha’ yang merupakan salah satu dari Kutub al-Tis’ah adalah Imam Syafi’ie, padahal aslinya adalah Imam Malik bin Anas, kepiawaiannya berolah kata sebagai public speaker berhasil membius ratusan orang di forum itu. Ya, orang-orang yang pasti tak bisa baca kitab gundul juga.
Perlu Panjenengan sekalian ketahui bahwa tak ada sepotong ayat pun dalam al-Qur’an, juga hadist Rasul, yang memberikan panduan legal-formal sistem pemerintahan Islam. Yang ada adalah ayat-ayat “prinsip etik” bagaimana sebuah sistem pemerintahan itu dijalankan. Musawah (persamaan), syura (musyawarah), ta’awun (tolong-menolong), dan ‘adalah (keadilan), hanya itu prinsip-prinsip etiknya. Selebihnya, mekanisme teknis diserahkan kepada setiap umat, tentu berdasar zaman dan tempat hidupnya. Mau pakai monarki ala Ottoman atau demokrasi ala Indonesia, tidak ada petunjuk legal-formalnya sama sekali.
Felix juga kudu mencermati sejarah Rasulullah dalam memimpin Madinah. Tidak ada satu pun hadits yang mengatakan bahwa kepemimpinan Rasulullah di Madinah itu adalah praktik kekhalifahan (kenegaraan). Istilah khalifah sebagai fa’il dari khilafah yang berupa masdar, baru muncul sepeninggal Rasulullah. Khulafaur Rasyidin disebut khalifah oleh masyarakat setempat BUKAN karena menjalankan sebuah sistem Negara Islam, tetapi semata sebutan fungsional dalam bahasa Arab yang menunjuk pada pemimpin itu.
Tentu, kewajaran belaka dalam sebuah komunitas harus ada pemimpinnya. Demikian pula yang terjadi di tanah Madinah kala itu. Sebab kondisi sosial-kultural masa itu adalah Islam, maka wajar saja bila aturan-aturan sosial-kemasyarakatan yang dijalankan saat itu adalah Islam. Tetapi, tetap saja harus ditegaskan bahwa hal itu bukanlah representasi legal-formal pemerintahan Islam yang harus dijalankan sepanjang zaman dan tempat. 
Antum a’lamu biumuri dunyakum,” sabda Rasul. “Engkau lebih tahu tentang urusan duniawimu.”
Dalam literatur keislaman salaf maupun kontemporer, isu tentang khilafah ini juga berada dalam posisi minor. Hanya ada sosok Abul A’la al-Maududi sebagai top leader-nya yang pernah menuliskan garis-garis besar haluan (GBHN) Negara Islam. Sistem khilafah yang benar-benar legal-formal baru muncul di era Umayyah. Aslinya, sistem khilafah masa itu lebih tepat disebut monarki. Monarki yang dijalankan berdasar asas syariat Islam. Kondisi ini terus berlanjut hingga era Abbasiyah dan Ottoman (Utsmaniyah).
Catat di sini bahwa sepeninggal Rasulullah pun, para khalifah penggantinya (4 sahabat) tidak menjalankan kepemimpinan Islam dengan sistem monarki. Bila panjenengan membaca sejarah bagaimana transfer kekuasan terjadi sepeninggal Ali bin Abi Thalib, yang sempat digantikan oleh Hasan bin Ali, serta kemudian memantik peristiwa Karballa yang merenggut nyawa Husein bin Ali, ke tangan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, semua itu berjalan dalam “ranah politik” murni, bukan agama. 
Sampai di sini, perintah menegakkan khilafah sama sekali tidak memiliki landasan normatif (ayat dan hadits) dan historisnya. 
Inilah yang melandasi sikap kooperatif kubu Islam di hadapan kubu Nasionalis dari founding fathers kita dulu, yang dimotori M. Natsir, Agus Salim, Mohamad Roem, hingga Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan (orang-orang yang pastinya ahli ilmu agama dan umum dong), untuk menerima Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, bukan Syariah Islam. Bagi mereka, Pancasila sudah sangat Islami karena sudah berlandas pada “prinsip etik” ajaran politik Islam, sehingga harus diterima oleh umat Islam Indonesia
Kedua, tentang Syi’ah. Anak-anak muda muslim dan muslimah kini begitu doyan menjadikan sebutan Syi’ah sebagai sebuah keburukan dan kesesatan tanpa pilah pilih.
Mari teliti sejarah lahirnya Syi’ah. Syi’ah sejatinya telah ada sejak berpulangnya Rasullullah, yang diisi oleh para sahabat yang meyakini bahwa penerus Rasulullah haruslah dari Ahlul Bait, dalam hal ini Ali bin Abi Thalib. Kaum Syiah pembela Ali ini kian menguat sikapnya sepeninggal Ustman bin Affan. Sebagian faksi Syi’ah ini bahkan sampai pada level “menuhankan Ali” dengan mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Ustman, dan siapa pun yang dituding “mengambil hak” Ali untuk menjadi pemimpin penerus Rasulullah, yang sikap itu ditentang oleh Ali sendiri, .

Saat Ustman bin Affan terbunuh, sepupunya di Suriah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang memiliki massa militer dan politik besar, menuntut Ali untuk menyerahkan pembunuhnya. Bila tidak, maka Mu’awiyah akan memasuki Madinah. Para sahabat Madinah berang dengan ultimatum itu. Mereka bersiap “menyambut” pasukan Mu’awiyah (belum Umayah).
Di tengah situasi genting inilah, Ali membuat deal dengan Mu’awiyah, yang di antara isinya ialah menyerahkan tongkat kepemimpinan umat Islam ke tangan Mu’awiyah sepeninggalnya kelak. Di antara sahabat kecewa atas sikap politik Ali ini. Sebagian dari mereka memilih keluar dari kubu Ali sebagai aksi protes dan dikenal dengan nama Khawarij yang memang radikal. 
Salah satu ciri Syi’ah secara teologis ialah menolak semua hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait. Abu Hurairah, misal, yang riwayat-riwayat haditsnya banyak diambil sebagai hadist shahih, ditolak oleh kubu Syi’ah, meski dalam perkembangannya mengalami perubahan-perubahan pula. Namun, penting dicatat segera di sini, bahwa sebagian hadist shahih yang diriwayatkan oleh kaum Syi’ah diterima oleh Bukhari dan Muslim. 
Penting pula dimengerti bahwa di dalam tubuh Syi’ah itu sendiri terdapat begitu banyak faksi. Ada faksi yang sangat radikal, yakni Syi’ah Rafadhah. Ada pula faksi yang sangat besar dan intelek, yang melahirkan mazhab fiqh sendiri, yakni Syi’ah Zaidiyah. Faksi ini lebih concern pada kemazhaban, dan tidak sibuk dengan urusan kafir-mengkafirkan. 
Di masa Fathimiyah, yang mendirikan Universitas al-Azhar, mazhab Syi’ah inilah yang dipakai, sebelum kemudian diganti oleh Salahuddin al-Ayyubi menjadi beraliran Sunni. Tetapi, dulu, Mazhab Syi’ah Zaidiyah ini diajarkan di sana. Bahkan, mazhab ini juga masih diajarkan berjejer dengan mazhab-mazhab fiqh lainnya hingga kini di banyak universitas dunia sebagai kajian komparatif.
Jadi, catat, Syi’ah pada mulanya lahir sebagai “faksi politik”, lalu sebagiannya berkembang menjadi sebuah aliran mazhab dalam Islam. Syi’ah tak patut untuk digebyah uyah sebagai keseluruhannya sesat (sama halnya dengan kubu aliran lain apa pun), sebab secara teologis ada pula kelompok Syi’ah yang sejatinya sama dengan Sunni; sama-sama sebagai sebuah aliran teologis, sama-sama bagian dari Islam.
Lalu, di sini, di tangan muslim awam umumnya, Syi’ah dipuklul rata sebagai sesat, bahkan kafir, bukan bagian dari Islam. 
Memang benar bahwa sebagian ritual Syi’ah ada yang berbeda dengan ritual Sunni yang kita anut di sini dan di banyak negara berpenduduk muslim lainnya. Tetapi, dalam ranah apa pun, perbedaan akan selalu ada dan tidak perlu dibesar-besarkan, bukan? Mengurai itu tentu akan butuh penelitian khusus yang intensif. Syi’ah begitu populer di Irak dan Iran, misalnya. Mungkin, bila panjenengan lahir dan hidup di Iran, panjenengan dengan sendirinya akan menjadi penganut Syi’ah. Bukankah mayoritas kita dalam berislam dan bermazhab mewarisi siapa orang tua kita, ya?
Kita di sini lalu gampangan mengatakan Syi’ah itu sesat, bukan bagian dari Islam, secara gebyah-uyah, sebab mayoritas kita memang tak paham peta sejarah dan teologis ini. Sebab yang ada di cakrawala Islam kita hanyalah Islam Sunni, plus keawaman itu, jadilah yang berbeda dengan Sunni cenderung mudah divonis sesat. Demikian faktanya.


Ketiga, Islam liberal. Di sini, kian ke sini, istilah Islam liberal seolah merupakan hantu buruk rupa yang wajib dijauhi. Betapa mudahnya anak-anak muda yang awam studi akademik Islam itu menyebut Islam liberal sebagai sesat, bahkan kafir. Dan, Felix berada di rel yang sama dalam memperlakukan istilah liberal ini.
Baiklah, mari cermati ini. Kita semua tahu, termasuk Felix dan Reza, bahwa Islam itu terbagi jadi dua: unsur normativitas (dalil-dalil) dan unsur historisitas (kesejarahan, kezamanan). 
Al-Qur’an dan hadits pun, bila panjengan tahu ilmu asbab al-nuzul dan ilmu asbab al-wurud untuk hadist, sebagiannya merupakan respons Allah dan RasulNya terhadap realitas zaman yang terjadi di tanah Arab, tempat diturunkannya kedua sumber utama Islam itu. Artinya, di dalam normativitas Islam termuat historisitas. Dalam ilmu Musthalah Hadits, misal, ada kaidah bahwa hadits ada yang bersifat qaulan (ucapan), fi’lan (perbuatan), dan taqriran (penetapan) Rasulullah.
Dalam kitab al-Ilm fi Ushul al-Fiqh karangan Abdul Wahhab Khallaf, sebuah kitab primer di pesantren-pesantren, suatu hari Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Irak untuk berdakwah. Beberapa masa kemudian, sekembalinya ke Madinah, Mu’adz melapor pada Rasulullah bahwa di Irak ia mendapat pertanyaan dari masyarakat setempat tentang sebuah hukum yang Mu’adz sendiri tak pernah tahu statusnya dari Rasulullah. Lalu, karena zaman itu belum ada gadget, Mu’adz berijtihad memutuskan status hukum itu. Beliau menanyakan kepada Rasulullah tentang sikapnya itu, dan Rasulullah membenarkannya mengambil langkah itu.
Inilah yang di kalangan ulama Ushul Fiqh (Ilmu tentang metodologi pembentukan hukum Islam/fiqh) disebut-sebut sebagai ijtihad pertama dalam sejarah Islam yang terjadi di masa Rasul masih sugeng.
Terlihat dari i’tibar ini bahwa wajah hukum Islam tidaklah sama karena perbedaan realitas sosial-kultural antara Madinah dan Irak, yang relatif dekat. Apalagi wajah Islam Madinah dengan Indonesia.
Dalam studi akademik Islam, inilah yang lazim disebut kontekstualisasi Islam; berkesesuaiannya dalil-dalil Islam dengan realitas masa dan tempat hidup umat Islam. Maka, Islam ala Arab tidaklah harus dijiplak habis-habisan oleh umat Islam Indonesia, misal, lantaran pada sebagian fenomenanya tidaklah sesuai.
Apakah ini berarti bahwa wajah hukum Islam akan terus berubah?
Iya. Tepatnya, berdinamisasi. Dinamisasi hukum Islam ini hanya pada hal-hal yang sifatnya mu’amalah, bukan ‘ubudiyyah. Shalat Subuh di Masjidil Haram Mekkah yang dua rakaat akan selalu sama dengan shalat Subuh di masjid Bantul atau masjid di dekat Gua Pindul Gunung Kidul yang juga dua rakaat. Ini ‘ubudiyyah.
Makan kurma atau memelihara jenggot yang di Arab sangat subur tidaklah harus diikuti oleh umat Islam Indonesia, sebab kurma sulit dan mahal di sini, serta gen kita tidak “murah hati” pada jenggot. Ini mu’amalah. Wujud hijab sebagai penutup aurat di Arab yang berkurung lebar, bahkan sebagiannya ditambahin cadar, tidaklah harus ditiru atas nama apa pun oleh muslimah Indonesia, sebab keduanya memiliki kultur yang berbeda. 
Inilah kontekstualisasi dalil-dalil Islam; pembumian dalil-dalil Islam dengan realitas hidup umatnya. Dan, catat, kontekstualisasi ini secara epistemologis berbeda dengan liberalisasi Islam.
Secara epistemologis, kontekstualisasi Islam ialah “sekadar” upaya menyelaras-sesuaikan ajaran Islam dengan realitas hidup sebuah masyarakat. Membumikan, menyambung-kelindankan, menjadikannya spirit/ruh perilaku masyarakat setempat. Tentu, di dalamnya dibutuhkan tafsir yang dinamis. 
Liberalisasi Islam, secara epistemologis, adalah gerakan menafsirkan atau memahami dalil-dalil Islam dengan semangat progresif berkebebasan. 
Perbedaan paling mencolok di sini ialah bila kontekstualisasi Islam menjadikan dalil sebagai hierarki nomor satunya dalam spirit menafsirkan sesuai realitas zaman dan tempat, maka Liberalisasi Islam “cenderung” mendahulukan kekuatan nalar di atas normativitas itu. 
Tak heran, dalam beberapa tafsirnya, Islam Liberal memang terlihat mengejutkan kalangan awam. Ya, dalam sebagainnya lho, dalam sebagian lainnya tidak. Misal, tafsir liberalis bahwa wine yang notabene mengandung zat yang memabukkan itu halal dengan menimbang unsur manfaatnya. Memeluk lawan jenis non muhrim itu boleh dalam kaidah qiyashi terhadap ajaran idkhal al-surur (menyenangkan orang lain). Ini beberapa contoh tafsir baru kaum liberalis yang mengejutkan kaum awam, yang juga tidak diamini oleh kaum kontekstualis. 
Maka, sepatutnya, ke depan, kita hanya perlu lebih jeli dalam menimbang sebuah “fatwa” itu apakah layak kita terima atau tidak, sesuai atau tidak dengan konteks realitas hidup kita. Plus, yang tak kalah pentingnya, menjadikan maqashid al-syar’ie (tujuan pokok hukumnya) sebagai landasannya (nanti saya bahas khusus hal ini).
Sungguh menjadi ironi bila segala apa yang “baru”, disebut liberalis dalam artian sesat dan kafir. Menyedihkan sekali ini. Parah lagi sedihnya bila judge ini distigmakan oleh Felix yang banyak jamaahnya, sehingga otomatis jamaahnya yang awam akan mengamininya tanpa ampun.
Jadi, Felix harus mengerti betul peta ini; bagaimana kaidah metodologis dalam memperlakukan dalil-dalil yang “teks mati” dan tak bakal bertambah lagi di hadapan realitas zaman yang “manusia hidup” yang akan terus bergerak. Felix perlu pula membaca biografi Imam Syafi’ie, misal, yang menerbitkan Qaul Qadim untuk kemudian dilengkapi dalam Qaul Jadid, sebagai bukti empirik betapa imam hebat sekaliber beliau pun memiliki spirit tafsir kontekstual seiring perpindahan realitas hidupnya.
Keempat, maqashid al-syar’ie. Di kalangan pelajar atau ahli Ushul Fiqh, maqashid al-syar’ie ini menjadi “ibu” dari segala penyimpulan hukum Islam (al-asas fi istinbath al-hukmi al-islami). Sebuah hukum baru timbul selalu karena dua hal: fenomena baru dan landasan normatifnya (dalil). Dalil sampai akhir zaman akan tetap begitu adanya. Mabni. Alias tetap. Di dalam setiap dalil, terkandung maqashid al-syar’ie. Ia juga mabni, alias tetap. Tetapi, catat segera di sini, maqashid al-syar’ie itu adalah spirit atau tujuan pokok yang dikandung sebuah dalil. 
Misal, ayat tentang menghormati orang tua. Ayatnya begini, “Janganlah kamu berkata uuhh pada kedua orang tuamu.” Penafsir yang memegang metodologi tafsir yang baik, Ushul Fiqh itu, harus mencari tahu dulu apa gerangan maqashid al-syar’ie dari ayat ini. Oke, sebutlah maqashid al-syar’ie-nya adalah “dilarang berkata kasar pada orang tua”.  Inilah yang harus selalu dipegang oleh setiap penafsir.
Di sisi lain, kita mengerti bahwa etika itu relatif aktualisasinya dalam banyak adat masyarakat. Boleh jadi seorang anak biasa berkata “Bro” pada ayahnya, dan itu diterima sebagai etik oleh kedua orangnya, maka itu tak perlu disebut melanggar ayat itu. Tetapi boleh jadi dalam sebuah keluarga, salaman dengan tidak mencium tangan orang tua dianggap lancang, maka itu berarti pelanggaran terhadap maqashid al-syar’ie itu.
Perhatikan dengan detail di sini, bahwa yang paling pokok ialah menegakkan maqashid al-syar’ie itu, bagaimana caranya agar ia terpelihara, sedangkan remah-remah teknisnya bukanlah masalah untuk berbeda antar satu wilayah dan masa dengan wilayah dan masa lainnya. ‘Illah al-hukmi-nya pegang, selebihnya biarkan dinamis bentuknya.
Tafsir dinamis apa pun bila esensinya menabrak maqashid al-syar’ie ini, maka ia tidak layak digugu. Sebaliknya, tafsir Felix pun yang begitu sibuk dengan remah-remah teknis yang notabene alamiah untuk berbeda-beda sebab kejamakan realitas masyarakat, sampai menyulitkan hidup kita, dan apalagi ternyata bukanlah esensi dari sebuah ajaran atau dalil (maqashid al-syar’ie) itu, ya tidak perlu didapuk. 
Selfie, misal. Hari ini tak ada seorang pun yang tidak memiliki gadget. Dan setiap gadget selalu ada kameranya. Panjenengan bakal jadi aktor Srimulat bila datang ke counter handphone, lalu mencari handphone yang tidak ada kameranya sebab takut dosa karena tergoda selfie.
Come on, Felix, dengan memahami dulu maqashid al-syar’ie setiap ajaran atau dalil, lalu didakwahkan secara membumi, hukum Islam akan menjadi mudah diikuti kok. Yassir wala tu’ashshir, mudahkanlah dan jangan mempersulit.
Baiklah, dalam fatwa Felix tentang selfie itu, anggap saja ia sangat mengedepankan kehati-hatian. Agar hati tidak obah jadi ujub, riya’, dan takabbur, sebab itu semua penyakit hati yang berbahaya. Tetapi Felix juga harus fair dan proporsional bahwa kehati-hatian tidaklah sama dengan paranoid. Bila semua laku kita sehari-hari dibelenggu oleh kehati-hatian agar tak ujub, riya’, dan takabbur, yang itu berarti poinnya adalah tentang niat di dalam hati, maka berhentilah kita menulis, ngetwet, tampil di podium, sebab khawatir hati jadi goyah, jadi ujub, riya’, dan takabbur. Berhentilah bersedekah sebab khawatir hati jadi sombong di hadapan dhuafa yang menerimanya.
Ini bukan lagi kehati-hatian, tetapi paranoid; kafa Sigmund Freud, itu adalah kondisi neurosis pengidap masalah jiwa. Sorry to say. Demikian pula dalam fatwa Felix tentang keharaman televisi. 
Akan lebih bijak bila dalam konteks kehati-hatian agar hati tidak ujub, riya’, dan takabbur ini, cukuplah Felix menyandarkan pemahamannya pada hadits, misal, “Siapa yang di hatinya ada sebesar biji zarrah dari kesombongan, maka ia tidak berhak atas surga Allah.” Hadits ini bisa diurai begini bila menggunakan metodologi ilmiah Ushul Fiqh: maqashid al-syar’ie­-nya adalah jangan pernah sombong dalam hal apa pun. Pelaksanaannya bagaimana? Biarkan umat personal yang mencernanya. Sebagai sebuah geliat hati berupa niat, ya itu sangat privat. Yang penting, sebagai ustadz yang menegakkan jalan dakwah, ente sudah menyampaikan bahwa Allah membenci orang sombong. 
Saking pedulinya saya sama ente, saya sungguh cemas lain hari ente akan mengharamkan traveling, outbound, internet, otomotif, gethuk, tiwul, dll., sehingga suatu kelak Indonesia ini akan hidup di abad pertengahan bersama kaum Khawarij, sementara bangsa-bangsa lain sudah pelesiran ke bulan dan Mars.
Kelima, komodifikasi. Hari ini, komodifikasi merupakan strategi marketing yang sangat ampuh, yang karenanya didaku oleh banyak orang dan perusahaan besar. Komodifikasi ialah “bisnis” alias jualan sebuah produk, boleh barang atau konsep, dengan dilabeli nilai-nilai agama. Intinya ya jualan itu, bisnis itu. Biar lebih mencengkeram hati segmen yang disasarnya, dikemaslah ia dengan label-label Islam. Orang awam akan mangap dan menelannya begitu saja, dengan sugesti bahwa inilah yang dikehendaki oleh Allah dan RasulNya. Bila panjenengan jalan-jalan ke Mekkah, lihatlah di supermarket Bin Daood, misal, betapa cerdasnya brand Coca Cola melakukan komodifikasi ini dengan menuliskan merek Coca Cola dalam bahasa Arab, sehingga bagi jamaah umrah/haji yang awam, yang faktanya itu adalah mayoritas, ia dianggap minuman buatan Mekkah yang sama berkahnya dengan Zamzam.

Dalam sebuah presentasi di kelas doktoral yang mengangkat tema Komodifikasi Agama ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa sebagai sebuah strategi marketing, komodifikasi itu hebat banget, tetapi sebagai sebuah pertanggungjawaban moral muslim, itu tega banget. Itu adalah pembodohan umat. 
Beberapa waktu ini, kita dijejali dengan slogan bernama Hijab Syar’ie. Hijab yang secara maqashid al-syar’ie untuk menutupi aurat bergeser menjadi fatwa-fatwa marketing Hijab Syar’ie ala komodifikasi: sebuah model hijab yang didesain sedemikian rupa, sehingga “efek fiqh-nya” adalah siapa pun muslimah yang tidak mengenakan hijab demikian belumlah sempurna ia menunaikan kewajibannya menutup aurat. Belum sempurnalah kemuslimahannya. 
Bila fiqh menutup aurat ini dikembalikan kepada Mazhab Syafi’ie, misal, jelas bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Sudah. Kalau mengikuti mazhab lainnya, misal Hanafi, batasannya sedikit lebih longgar.
Tidak ada kaitan sama sekali antara kewajiban menutup aurat bagi muslimah dengan kewajiban mengenakan hijab model begini dan begitu itu. Nggak ada blas! Yang penting sudah sempurna menutup aurat, ya sudah cukup. Di Topkapi, Istanbul, sampai hari ini masih menyimpan jubah Fatimah, putri Rasulullah, yang bentuknya biasa saja. Tidak aneh-aneh, ora ndakik-ndakik kudu menjuntai kanan-kiri dan begini begitu.
Sungguh messakke para simbok dan simbah kita di kampung bila Hijab Syar’ie yang notabene tidak murah harganya itu, sebutlah merek Alila milik Felix, dijadikan ukuran benar menutup aurat muslimah yang dikehendaki oleh Allah dan RasulNya. Sungguh kasihan. 
Efek lain dari komodifikasi Hijab Syar’ie yang laris manis berkat fanatiknya orang awam pada fatwa rente ini ialah bermunculannya turunan komodifikasi lainnya, mulai kaos kaki Syar’ie, sepatu dan sandal Syar’ie, baju renang Syar’ie, dan entah kelak Syar’ie-Syar’ie apa lagi. 
Tentu saja, Felix juga manusia biasa seperti saya yang suka duit, karenanya ia berdagang bagai Rasulullah (sebutlah begitu), itu sah-sah saja. Tetapi, sebagai idola umat, sewajibnya Felix memahami kapasitas dirinya sebagai ustadz di satu sisi dan pedagang di sisi lain. Membaurkan kedua pangkat itu, demi larisnya dagangan, sungguh sangat memilukan. Memfatwakan sesuatu atas nama Syariat, tetapi efeknya menjadikan larisnya sebuah dagangan, sungguh itu cara mengais nafkah yang tergopoh.
Keenam, terakhir, ilmu dan konsistensi. Seseorang menjadi anutan umat, dan akan kian terhormat, bila memiliki kedalaman ilmu dan konsistensi tinggi. Saya tidak berkepentingan untuk meragukan kapasitas Felix. Tidak, sama sekali tidak. Namun saya hanya hendak mengatakan di sini bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) seperti yang kerap dilakukan Felix harus melandaskan fatwanya selalu pada metodologi ilmiah ilmu pengetahuan yang kapabel: secara ilmu alat tafsir (sebutlah ilmu Ushul Fiqh, Asbab al-Nuzul, Asbab al-Wurud, Nasakh Mansukh, ilmu bahasa macam Nahwu, Sharf, Mantiq, dan Balaghah, hingga ilmu muqaranah al-mazahib) dan secara ilmu umum (sebutlah sosiologi, antropologi, hingga hermeneutika).
Felix hanya perlu menyadari bahwa fatwa-fatwanya akan memiliki dampak kepada (setidaknya) jamaahnya, menjadi prinsip hidup, kemudian perilaku. Apa jadinya bila sebuah fatwa dilahirkan dengan ugal-ugalan tanpa memiliki landasan metodologis yang kuat. Yang terjadi bukanlah tuntunan hidup umat, tetapi kegelisahan umat.
Dalam kitab Al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh karangan Abu Ishaq Ibrahim, disebutkan bahwa seorang mufti (kayak Ustadz Felix) harus pula memenuhi syarat amanah dan terpercaya. Dalam bahasa kita, ustadz pemberi fatwa haruslah memiliki konsistensi tinggi. Ini mencerminkan betapa sangat tingginya derajat mufti yang bukan hanya pandai menarikan jempolnya di atas gadget untuk kultwet, tetapi juga harus selalu konsisten perilakunya agar patut digugu.
Bila manusia umum macam saya ini sukanya isuk kedele sore tempe, Nakmas Bagus Felix ndak boleh lho begitu. Atas nama kredibilitas ente yang harus konsisten sebagai seorang mufti. Sebab fatwa ente akan diasup jamaah ente, jadi ente harus selalu sahih konsistennya.
Ndak elok to, Felix, bila ente memfatwa tivi haram tapi ente terima order untuk tampil di sana atas nama dakwah, misal. Pun ndak jumawa to bila ente bilang selfie itu mengancam hati tetapi ente ya selfie di Vatikan. Pun menyedihkan saya lihatnya kala ente begitu heorik mencuci otak jamaah untuk mendukung ideologi ente menegakkan khilafah di sini, sampai tega bilang nasionalisme itu tak ada dalilnya dan pula tak berguna (masak sih harus saya ajarin tentang ajaran hizbu al-wathan), tetapi ente menikmati kewarganegaraan Indonesia dalam bentuk KTP dan passport lho.
Hormat dan maaf saya yang sebesar-besarnya untuk panjengenganipun, Nakmas Bagus Felix Siauw, bila banyak mata pelajaran dalam rapor ini yang masih berwarna merah. Tetapi, percayalah, saya melakukan ini karena tiga hal belaka: pertama, selo banget, lalu kedua, peduli banget sama anak-anak muda muslim/muslimah yang aslinya awam ilmu agama tetapi begitu militan memperjuangkan hal-hal yang belum diketahuinya dengan baik, dan ketiga, sebab saya merindukan ente, Felix, jadi cendekiawan muslim yang sanggup menyumbangkan kesejukan dan kedamaian bagi bangsa ini.
Kulo nuwun.
Jogja, 22 Januari 2015
***
Sumber : http://ediakhiles.blogspot.com

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2015/02/rapor-merah-untuk-felix-yanwar-siauw.html#ixzz3QdsUQIW9

Ulama NU: 'Indonesia Itu Khilafah Secara Definisi'


Muslimedianews.com ~ Negara Islam atau khilafah Islamiyah akhir-akhir ini banyak diperbincangkan banyak orang lantaran ada sebagian umat Islam yang mempropagandakannya sebagai konsep pemerintahan ideal bagi umat Islam. Di Indonesia kelompok yang paling getol menyuarakan khilafah Islamiyah adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang ikut serta mewujudkan kemerdekaan negara ini dan menyatakan final terhadap NKRI tentu memiliki tanggungjawab besar dalam meluruskan pendapat tentang khilafah Islamiyah demi menjaga keutuhan NKRI. Berikut wawancara Ceprudin, redaktur nujateng.com dengan Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah, KH. Ubaidullah Shodaqoh atau akrab disapa Gus Ubed, tentang khilafah Islamiyah hasil keputusan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (Munas-Konbes) NU 2014.

Ceprudin: Dalam Munas-Konbes NU 4 November salah satunya membahas konsep khilafah. Kemudian dihasilkan khilafah sebagai sistem dan khilafah sebagai definisi. Maksudnya bagaimana Kyai?

Gus Ubed: Pembahasan khilafah dalam bahtsul masail Munas-Konbes itu menghasilkan kesimpulan bahwa khilafah ada dua macam; khilafah sebagai sistem dan khilafah sebagai definisi. Khilafah sebagai sistem artinya khilafah sebagai sistem pemerintahan. Dalam literatur pesantren (baca: kitab kuning), kebanyakan mengatakan bahwa satu dunia adalah satu khilafah. Tapi juga ada yang mengatakan tidak.

Sementara khilafah sebagai defisinisi artinya khilafah an-nubuwwah (pengganti kenabian). Jadi, khilafah itu fusngsinya adalah mengganti peran nabi. Peran nabi itu apa? peran nabi itu ri’ayatu ad-din wa siyasatu ad-dunya (menjaga agama dan mengatur dunia-red). Menjaga agama dan mensiasati dunia supaya makmur, supaya bermanfaat bagi manusia itu bagaimana caranya? Nah itu siyasatu ad-dunya. Kalau khilafah sebagai definisi yang artinya sebagai ri’ayatu ad-din wa siyasatu ad-dunya itu merupakan kewajiban. Kalau sebagai sistem di mana satu dunia itu satu khilafah, itu bukan merupakan suatu kewajiban. Di samping itu pada praktiknya, sejak dulu sampai sekarang tidak pernah terjadi sistem negara satu dunia atau khilafah. Hal seperti itu dalam sejarah tidak pernah terjadi. Hanya saja yang mewarnai pemikiran kita itu kan karya fikihnya al-Mawardi.

Pembahasan masalah khilafah dalam kitab-kitab itu larinya ke imamah. Imamatu ad-Daulah. Nah, padahal mendirikan satu imamah untuk satu dunia ini secara faktual sangat sulit sekali. Karena apa, kok sulit diwujudkan? karena perbedaan geografis, kultur, madzhab dan lain sebagainya. Jadi keberagaman hukum juga diakui, hukum Islam (fikih) maupun hukum nasional-internasional itu berbeda-beda.

Nah, oleh karena itu ulama memperbolehkan mendirikan dua imamah yang berbeda-beda. Apabaila disatukan itu sulit koordinasinya, sehigga tidak bisa. Bi asy-syaukah (baca: kekuasaan) jika disatukan oleh seorang imam itu tidak bisa sampai ke bawah, tidak bisa menyeluruh, dan koordinasi urusan dunia juga sulit.
Maka dalam hal ini dua daerah mempunyai dua imamah itu diperbolehkan. Nah, jika ada dua imamah dalam dua daerah itu artinya juga khilafah. Namun khilafah dalam arti secara defisini itu tadi. Jadi kalau mendirikan khilafah sebagai sebuah defisini itu merupakan sebuah kewajiban.

Di mana ada pemerintahan yang menjaga urusan dunia, itu berarti menjalankan suatu kewajiban. Tapi tidak harus satu dunia satu khilafah. Berbeda-beda juga boleh. Di Indonesia itu khilafah umpanya, di Thailand khilafah, itu tidak menjadi masalah.

Ceprudin: Kalau dalam konteks Indonesia sendiri bagaimana Kyai?

Gus Ubed: Yah sekarang Indonesia ini sudah khilafah atau belum? Kalau khilafah secara definisi sudah. Di mana di Indonesia agama sudah diurusi dalam Kementerian Agama. Bagarangkali di sana-sana juga ada yang mengurusi masalah agama. Apalagi kita mempunyai KHI (Kompilasi Hukum Islam) dan lain sebagainya.

Terlepas dari itu semua sudah sempurna dan ideal atau belum, yang jelas di sini agama sudah diurusi. Di Indonesia urusan-urusan keagamaan ini tidak bisa lepas dari pemerintahan. Kita tahulah acara-acara resmi, acara-acara hari besar Islam itu diurusi oleh negara. Kemudian masalah siyasatu ad-dunya (mengatur dunia), itu juga sangat jelas diurusi oleh negara. Jadi Indonesia ini sudah khilafah semestinya, ya khilafah dalam arti definisi tadi, atau imamah. Nah, khilafah seperti ini merupakan suatu kewajiban. Inilah yang dimaksud dalam doktrin Aswaja kita itu, wajaba nasbu al-imami al-adil (kita wajib membangun imamah atau kepemimpinan yang adil). Tentunya asumsi kita adalah adil. Kita memilih orang (untuk jadi pemimpin) ini tentunya asumsi kita itu akan adil. Jika dalam perjalanan pemimpin itu menyimpang, itu sudah persoalan lain.

Ceprudin: Jadi dalam hal ini berarti negara perlu mengambil peran dalam mengurus soal agama?

Gus Ubed: Ya, negara mengambil peran dalam soal agama bukan berarti negara menjadi otoritas keagamaan, tidak. Namun dalam hal ini, hanya mengatur. Sebab mengingat bahwa Islam dalam perkembangannya memiliki banyak madzhab hukum. Dan semua madzhab hukum ini diakui semuanya, dan itu boleh dilaksanakan.

Kalau salah itu, umpanya madzhab hukum itu salah, ya walahum ajrun, ya itu tidak menjadi masalah. Jadi umpanya ijtihadnya salah, satu imam itu salah, misalnya ada yang menyatakan, “lha itu kan salah ko diakui”. Ya salah, ya ndak masalah. Artinya kalau sudah dalam bingkai ijtihad, kita sebagai orang umum itu tidak bisa menilai.

Dan monggo itu kalau mau dilaksanakan dan itu banyak perbedaan. Artinya negara itu harus melindungi semuanya, bukan berarti menetapkan satu dan lain sebagainya. Menetapkan itu kalau ada perselisihan dua pendapat, nah baru ditetapkan satu. Barangkali umpanya masalah nikah, ada madzhab yang tidak perlu wali, terus ada madzhab yang harus ada wali. Nah ini kan timbul perselisihan, di sini baru negara memutuskan. Negara menyatakan, pakai wali saja soalnya pasti keberadaannya pakai wali. Toh madzhab yang ini menjadi sah, dan madzhab yang satunya juga menjadi sah, itu misalnya. Jadi ya negara itu campur tangan, ya dalam mengatur jalannya madzhab-madzhab itu supaya bagaimana tidak terjadi berbenturan.
Sumber NU Jateng

Tidak Paham Dlomir, Spanduk HTI ini Jadi Lelucon di Sosmed


Muslimedianews.com ~ Bencana yang terjadi di Banjarnegara beberapa waktu lalu (2014) mengundang simpati di berbagai lapiran masyarakat, baik individu maupun kelompok, seperti partai, ormas, dan sebagainya. Termasuk dari salah satu gerakan Islam transnasional yang anti-NKRI turut ambil bagian untuk menarik simpati, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Spanduk berwarna hitam putih dan garis jingga pun dibentangkan oleh pihak HTI. Spanduk itu bertuliskan "HIZBUT TAHRIR INDONESIA" pada bagian atas, "Allahummagh Firlahum warhamhum Wa'afihi Wa'fu'anhum" pada bagian tengah, dan "DPD-II HTI BANJARNEGARA ... CP. 081334670290" pada bagian bawah.

Spanduk DPD-II HTI Banjarnegara itu ternyata menjadi bahan lelucon di sosial media dan mendapatkan sindiran di sebuah group facebook "Thariqah Sarkubiyah". Pasalnya seolah HTI mendoakan 'via Spaduk'.

"Mendoakan mayit via tahlil tidak sampai dan bid'ah, tp kalo via spanduk bisa sampai dan tidak bid'ah. Inilah cara HTI. ", tulis Dafid yang mengupload spanduk tersebut.

"Sampai tidaknya silakan hub Contact Person qiqiqi...", tulis Idham Kholid mengomentari.

"enek ae pencitraane"
, tulis akun Aziz Irsyad.

Nitizen juga menyindir soal penulisan do'a tersebut yang ternyata Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-II HTI Banjarnegara perlu belajar tentang penggunaan dlomir. Sebab, mereka menulis 'wa'afihi' dengan dlomir mufrod, sedangkan yang lainnya menggunakan dlomir jama'.

"Tulisane ae salah....", komentar akun Bocah Angon.

"Itu aja nulisnya salah dasar HTI. Yg lain zhomirnya jama' (HUM) kok yg WA'AFIHI zhomirnya mufrod weqeqeqeqe. .....", sindir akun Ibnu Ma'sud.

" Wa'afihi? Padahal sek sakdurunge marje'e jama' kabeh... Hahahaha", tulis Wajih Harun.

" Nulis aja salah apa lagi suruh baca , makanya HTI membet'ah kan tahlil dll itu.", tulis akun Zainal Arifin.

"harusnya " WA'AFIHIM" bukan WA'AFIHI seperti tertulis di spanduk ... gitu mas ... karena dhomir sebelumnya juga pake jama' ... itu baru bab "dhomir" gimana kalo ngaji bab "KULLU" wuah pasti rameee ... nih ...", tulis akun Masih Dadang Sukendr.

"Allahummaghfirlahum warhamhum Wa'afiihim wa'fu'anhum... dhomir "hum" mbalik ke HTI, ben tobat...", tulis akun Fahmi Ali.

"Sinau nahwu shorofe karo mbah google..... dadi salah kaprah", tulis akun Yaya Suraya.

"Memajang distorsi dan kejahilan di tengah jalan..", tulis akun Kang Aldi.

Penulisan yang benar semestinya menggunakan dlomir jama' semuanya :
اللهم اغفر لهم وارحمهم , وعافهم واعف عنهم
Allahummagh-fir Lahum warhamhum wa'afihim wa'fu 'anhum

Muslimat NU dan Muslimah HTI

Selain diatas, ada "lelucon" lain yang menarik untuk diketahui. Bila di NU ada Muslimat NU, maka HTI pun membuat perkumpulan perempuan-perempuan Islam dengan nama "Muslimah HTI".

Sama-sama ada bagian perempuan-perempuan Islam-nya. Bedanya, NU juga memiliki Fatayat (pemudi-pemudi), dan memberikan nama dengan pengetahuan sehingga menggunakan kata "Muslimat" dalam bentuknya jama', sedangkan HTI memberikan nama "Muslimah" tunggal. .


Penulis : Ibnu Manshur
photo.php?fbid=920629781288506&set=gm.990798137614327&type=1

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2015/01/tidak-paham-dlomir-spanduk-hti-ini-jadi.html#ixzz3QdqDikVK

Kata-kata Mutiara Maulana Al-Habib Luthfi Bin Yahya Tentang Cinta Indonesia


Muslimedianews ~ Di berbagai kesempatan al-Habib Luthfi bin Yahya tidak pernah melupakan pentingnya cinta Indonesia. Beliau selalu menekankan kepada warga Indonesia, khususnya umat Islam, agar selalu menumbuhkembangkan rasa cinta dan pedulinya terhadap NKRI. Menurut beliau, "NKRI adalah Harga Mati, NKRI Bukan Basa-basi!"

“Bangga terhadap Indonesia bukan sombong, tapi rasa syukur pada Allah Swt. Hormat pada Merah Putih bukan syirik, tapi ungkapan rasa syukur pada Allah Swt. untuk memiliki Bangsa Indonesia.”

“Bendera Merah Putih adalah harga diri Bangsa, kehormatan Bangsa. Jika kita mau bercermin kepada Bendera Merah Putih semestinya kita malu menjadi Bangsa. Koruptor tidak akan melakukan korupsi jika mau bercermin pada pendiri Bangsa, pada sang saka Merah Putih.”

“Cinta NKRI tidak hanya dilaksanakan pada 17 Agustus saja, melainkan setiap hari Senin dan upacara kebangsaan yang lain. Cinta kepada bangsa selalu ditanamkan melalui pengibaran sang saka Merah Putih. Kalau kita tidak cinta pada NKRI, untuk apa kita harus melakukan upacara bendera, hormat kepada sang saka Merah Putih?”

“Betapa pentingnya cinta tanah air, salah satu contohnya dengan menghormati Bendera Merah Putih. Meskipun jahit atau bikin merah putih itu gampang, namun banyak darah yang mengucur, banyak pengorbanan yang penuh rasa sakit demi menurunkan bendera Belanda dan menggantinya dengan Bendera Merah Putih. Sehingga sebagai anak Indonesia kita harus mempunyai penghormatan yang luar biasa kepada Merah Putih, harus menyucinya dan merawatnya dengan penuh perasaan cinta.”

“Kecintaan pada partai jangan melebihi mata kaki. Kecintaan pada bangsa dan negara sampai ke leher. Kecintaan pada agama melebihi ujung kepala.”

“Yang memperjuangkan Bangsa ini adalah para ulama, kiai dan pejuang muslim yang tak sempat dianugrahi bintang gerilnya. Maka jika ada kelompok-kelompok yang hendak menggerogoti kesatuan Bangsa ini, mereka adalah orang-orang yang tidak tahu sejarah. Wajib hukumnya bagi kita untuk menjaga keutuhan Negara ini dari rongrongan sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab.”

“Semangat nasionalisme sekarang ini semakin menurun. Itu terlihat dari sikap dan perilaku para elit, termasuk juga masyarakatnya yang tidak pernah rukun. Selalu ribut dalam perbedaan, khilafiyah. Segala sesuatu selalu dipolitisir dan dihubung-hubungkan, yang akhirnya hanya saling menyalahkan. Hingga akhirnya, Indonesia hanya dijadikan lintasan saja oleh bangsa lain. Saya tidak ingin masalah khilafiyah ini dibesar-besarkan, yang ujung-ujungnya hanya menjadikan Indonesia negara yang selalu jadi tontonan. Padahal Indonesia dengan segala potensinya, mampu menjadi negara yang besar dan disegani bangsa-bangsa lain. Ini menjadi salah satu tugas umat Islam agar Indonesia bisa maju dan sejajar dengan negara-negara lain.”

“Umat Islam seharusnya memasang gambar-gambar para pahlawan, khususnya pahlwan Islam, seperti Pangeran Diponegoro, juga gambar-gambar para wali, termasuk pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini agar setiap warga yang melihat gambar itu selalu terkenang dengan semangat para pahlawan yang ada di gambar itu. Semangat untuk membela negara, semangat untuk memerdekakan negara, semangat kepahlawanannya. Bukan bermaksud syirik maupun menyekutukan Tuhan dengan gambar-gambar itu, tetapi semangat yang dimiliki para pahlawan itu untuk dikenang dan diamalkan di zaman sekarang ini. Bahwa mereka yang sudah meninggal itu, ternyata masih memberikan semangat untuk membangun negara. Mereka yang sudah syahid, tidak tinggal diam untuk bangsa dan generasi penerusnya.”

“Pancasila mampu melindungi pluralitas yang ada, dan menjadi ideologi negara, maka Pancasila akan memperkokoh pertahanan nasional dan memperkokoh NKRI. Sebab Pancasila akan dimiliki semua pihak. Bila Pancasila itu tumbuh pada diri setiap anak bangsa dengan diperkokoh atau di beck-up oleh agamanya, maka kekuatan, kesatuan dan persatuan semakin erat terjalin dan tidak akan mudah digoyahkan. Karena Pancasila menjadi sebab tumbuhnya nasionalisme dan bebas dari kepentingan politik atau tidak akan menjadi bemper kepentingan politik. Sehingga tumbuh mekar secara murni kecintaan kepada agama, tanah air dan bangsa. Dari itu akan menjadi cermin bagi bangsa lain.”

“Nasionalisme secara filosofis sudah dicontohkan oleh para leluhur, para pendahulu bangsa semenjak penajajahan seperti sedekah bumi, sedekah laut, ‘terlepas dari persoalan syirik/musyrik’, karena saya tidak tahu hati orang. Sedekah bumi dan sedekah laut itu adalah wujud syukur atas bumi dan laut yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia. Sedekah bumi itu sebagai bentuk handar beni, perasaan yang bukan saja memiliki tapi juga mencintai.”

“Siapapun yang menjadi pemimpin bangsa, harus dihormati dan ditaati. Jika rakyat menghormati pemimpinnya maka Bangsa dan Negara ini akan kuat. Sebaliknya jika rakyat terus menerus mengkritik, mendemo dll pemimpinnya, maka kapan pemerintah akan bisa fokus bekerja. Saya tidak melarang ‘kritik’, akan tetapi salurkan kritik dan aspirasi itu pada saluran yang sudah disediakan pemerintah.”

“Aliran-aliran di luar Ahlussunnah yang meresahkan, mereka adalah kelompok Islam yang menolak Pancasila dan menganggap pemerintah tidak sah. Untuk mengatasi kelompok Islam seperti ini perlu ditekankan pentingnya sosialisasi ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Jangan sampai anak seorang tokoh NU, menjadi anggota Islam radikal.”

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 09 April 2014

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2014/04/kata-kata-mutiara-maulana-al-habib.html#ixzz3Qdp1eFpn

'Nasehat Sang Kyai' Untuk Felix Siauw Terkait Nasionalisme


Muslimedianews.com ~ Felix Siauw atau Felix Yanwar Siauw mungkin tidak asing didengar, khususnya bagi pengguna sosial media dan penggemar artis. Felix, seorang muallaf (mantan Katolik) yang aktif dalam sebuah kelompok transnasional yang anti-NKRI, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Figur Felix memang di blow-up oleh HTI sebagai ustadz dan motivator remaja guna menjaring generasi muda Islam dan kalangan awam agar menjadi anggota atau simpatisan mereka.

HTI adalah partai politik (parpol) yang bercita-cita memiliki kekuasaan / mendirikan negara sendiri yang mereka sebut sebagai Khilafah Islamiyah (versi An-Nabhani), tetapi tidak mengakui negara Khilafah versi lainnya seperti ISIS (di Irak), Khilafatul Muslimin (Indonesia), dan lainnya.

Demikian pula HTI tidak mengakui Nation State (negara bangsa) seperti Indonesia, dll. Bahkan menurut mereka, Indonesia adalah negara yang menganut sistemnya orang kafir. Mereka pun menentang paham Nasionalisme, paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air.

Sebagai syabab (anggota resmi) HTI, Felix pun memiliki pandangan yang sama yaitu anti terhadap Nasionalisme. Salah satu "fatwa" Felix yang cukup menyita perhatian, bahwa Nasionalisme tidak ada dalilnya dari sisi agama.

"membela nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya | membela Islam, jelas pahalanya, jelas contoh tauladannya", kicau Felix melalui akun twitternya.

Inilah kesalahan fatal Felix, ia berupaya mempertentangkan Islam dengan Nasionalisme, bahkan menyebut pembelaan terhadap Nasionalisme tidak ada dalil dari sisi agama.

Hal itu tentu berbeda dengan pandangan para ulama yang justru berupaya menanamkan nasionalisme dan tidak mempertentangkannya dengan Islam. Memang, ada dua kutup terkait Islam dan Nasionalisme yaitu ada kelompok Islamis dan ada kelompok Nasionalis. Tetapi dengan kepiawaiannya, ulama mampu memadukan keduanya. Inilah yang dilakukan oleh NU sehingga nasionalisme tidak menjadi 'gersang' tetapi berlandaskan pada agama.

Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj pernah mengatakan, NU telah berhasil mengawinkan antara Agama dan semangat nasionalisme. NU telah memberikan sumbangsih dalam menentukan bentuk negara Indonesia; sebuah negara yang dijiwai nilai-nilai agama dan nasionalisme.

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H As’ad Said Ali membedakan antara nasionalisme yang bertumpu pada nilai-nilai Islam dan nasionalisme yang sekuler. Hal itu yang membedakan dengan NU. Ia menegaskan bahwa rasa kebangsaan Nahdlatul Ulama tumbuh dan dilandasi nilai-nilai keagamaan pesantren. Hal inilah yang membedakan nasionalisme NU dengan nasionalisme sekuler.

NASEHAT 'SANG KYAI'
Dan berikut nasehat Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari terkait dengan Islam dan Nasionalisme. Beliau pernah mengatakan,

"Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari Agama, dan keduanya saling menguatkan"

Simak pula, kata-kata Mutiara Maulana Al-Habib Luthfi Bin Yahya Tentang Cinta Indonesia, lihat disini.

Dengan semangat nasionalisme juga, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama KH. Abdul Wahab Hasbullah pernah membentuk organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916.

Oleh : Ibnu Manshur

Mohon Diklik dan Suka/Like/Seneng

Pengikut

 

BANGUNLAH

Dimana Semua Bangsa

SUATU DUNIA

Hidup Dalam Damai

Dan Persaudaraan

Kita Harus Tau

“Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong”

Pendapat untuk blog ini ?

 
Blogger Templates