Muslimedianews.com ~ Negara Islam atau khilafah Islamiyah akhir-akhir ini banyak
diperbincangkan banyak orang lantaran ada sebagian umat Islam yang
mempropagandakannya sebagai konsep pemerintahan ideal bagi umat Islam.
Di Indonesia kelompok yang paling getol menyuarakan khilafah Islamiyah
adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang ikut serta mewujudkan kemerdekaan negara ini dan menyatakan final terhadap NKRI tentu memiliki tanggungjawab besar dalam meluruskan pendapat tentang khilafah Islamiyah demi menjaga keutuhan NKRI. Berikut wawancara Ceprudin, redaktur nujateng.com dengan Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah, KH. Ubaidullah Shodaqoh atau akrab disapa Gus Ubed, tentang khilafah Islamiyah hasil keputusan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (Munas-Konbes) NU 2014.
Ceprudin: Dalam Munas-Konbes NU 4 November salah satunya membahas konsep khilafah. Kemudian dihasilkan khilafah sebagai sistem dan khilafah sebagai definisi. Maksudnya bagaimana Kyai?
Gus Ubed: Pembahasan khilafah dalam bahtsul masail Munas-Konbes itu menghasilkan kesimpulan bahwa khilafah ada dua macam; khilafah sebagai sistem dan khilafah sebagai definisi. Khilafah sebagai sistem artinya khilafah sebagai sistem pemerintahan. Dalam literatur pesantren (baca: kitab kuning), kebanyakan mengatakan bahwa satu dunia adalah satu khilafah. Tapi juga ada yang mengatakan tidak.
Sementara khilafah sebagai defisinisi artinya khilafah an-nubuwwah (pengganti kenabian). Jadi, khilafah itu fusngsinya adalah mengganti peran nabi. Peran nabi itu apa? peran nabi itu ri’ayatu ad-din wa siyasatu ad-dunya (menjaga agama dan mengatur dunia-red). Menjaga agama dan mensiasati dunia supaya makmur, supaya bermanfaat bagi manusia itu bagaimana caranya? Nah itu siyasatu ad-dunya. Kalau khilafah sebagai definisi yang artinya sebagai ri’ayatu ad-din wa siyasatu ad-dunya itu merupakan kewajiban. Kalau sebagai sistem di mana satu dunia itu satu khilafah, itu bukan merupakan suatu kewajiban. Di samping itu pada praktiknya, sejak dulu sampai sekarang tidak pernah terjadi sistem negara satu dunia atau khilafah. Hal seperti itu dalam sejarah tidak pernah terjadi. Hanya saja yang mewarnai pemikiran kita itu kan karya fikihnya al-Mawardi.
Pembahasan masalah khilafah dalam kitab-kitab itu larinya ke imamah. Imamatu ad-Daulah. Nah, padahal mendirikan satu imamah untuk satu dunia ini secara faktual sangat sulit sekali. Karena apa, kok sulit diwujudkan? karena perbedaan geografis, kultur, madzhab dan lain sebagainya. Jadi keberagaman hukum juga diakui, hukum Islam (fikih) maupun hukum nasional-internasional itu berbeda-beda.
Nah, oleh karena itu ulama memperbolehkan mendirikan dua imamah yang berbeda-beda. Apabaila disatukan itu sulit koordinasinya, sehigga tidak bisa. Bi asy-syaukah (baca: kekuasaan) jika disatukan oleh seorang imam itu tidak bisa sampai ke bawah, tidak bisa menyeluruh, dan koordinasi urusan dunia juga sulit.
Maka dalam hal ini dua daerah mempunyai dua imamah itu diperbolehkan. Nah, jika ada dua imamah dalam dua daerah itu artinya juga khilafah. Namun khilafah dalam arti secara defisini itu tadi. Jadi kalau mendirikan khilafah sebagai sebuah defisini itu merupakan sebuah kewajiban.
Di mana ada pemerintahan yang menjaga urusan dunia, itu berarti menjalankan suatu kewajiban. Tapi tidak harus satu dunia satu khilafah. Berbeda-beda juga boleh. Di Indonesia itu khilafah umpanya, di Thailand khilafah, itu tidak menjadi masalah.
Ceprudin: Kalau dalam konteks Indonesia sendiri bagaimana Kyai?
Gus Ubed: Yah sekarang Indonesia ini sudah khilafah atau belum? Kalau khilafah secara definisi sudah. Di mana di Indonesia agama sudah diurusi dalam Kementerian Agama. Bagarangkali di sana-sana juga ada yang mengurusi masalah agama. Apalagi kita mempunyai KHI (Kompilasi Hukum Islam) dan lain sebagainya.
Terlepas dari itu semua sudah sempurna dan ideal atau belum, yang jelas di sini agama sudah diurusi. Di Indonesia urusan-urusan keagamaan ini tidak bisa lepas dari pemerintahan. Kita tahulah acara-acara resmi, acara-acara hari besar Islam itu diurusi oleh negara. Kemudian masalah siyasatu ad-dunya (mengatur dunia), itu juga sangat jelas diurusi oleh negara. Jadi Indonesia ini sudah khilafah semestinya, ya khilafah dalam arti definisi tadi, atau imamah. Nah, khilafah seperti ini merupakan suatu kewajiban. Inilah yang dimaksud dalam doktrin Aswaja kita itu, wajaba nasbu al-imami al-adil (kita wajib membangun imamah atau kepemimpinan yang adil). Tentunya asumsi kita adalah adil. Kita memilih orang (untuk jadi pemimpin) ini tentunya asumsi kita itu akan adil. Jika dalam perjalanan pemimpin itu menyimpang, itu sudah persoalan lain.
Ceprudin: Jadi dalam hal ini berarti negara perlu mengambil peran dalam mengurus soal agama?
Gus Ubed: Ya, negara mengambil peran dalam soal agama bukan berarti negara menjadi otoritas keagamaan, tidak. Namun dalam hal ini, hanya mengatur. Sebab mengingat bahwa Islam dalam perkembangannya memiliki banyak madzhab hukum. Dan semua madzhab hukum ini diakui semuanya, dan itu boleh dilaksanakan.
Kalau salah itu, umpanya madzhab hukum itu salah, ya walahum ajrun, ya itu tidak menjadi masalah. Jadi umpanya ijtihadnya salah, satu imam itu salah, misalnya ada yang menyatakan, “lha itu kan salah ko diakui”. Ya salah, ya ndak masalah. Artinya kalau sudah dalam bingkai ijtihad, kita sebagai orang umum itu tidak bisa menilai.
Dan monggo itu kalau mau dilaksanakan dan itu banyak perbedaan. Artinya negara itu harus melindungi semuanya, bukan berarti menetapkan satu dan lain sebagainya. Menetapkan itu kalau ada perselisihan dua pendapat, nah baru ditetapkan satu. Barangkali umpanya masalah nikah, ada madzhab yang tidak perlu wali, terus ada madzhab yang harus ada wali. Nah ini kan timbul perselisihan, di sini baru negara memutuskan. Negara menyatakan, pakai wali saja soalnya pasti keberadaannya pakai wali. Toh madzhab yang ini menjadi sah, dan madzhab yang satunya juga menjadi sah, itu misalnya. Jadi ya negara itu campur tangan, ya dalam mengatur jalannya madzhab-madzhab itu supaya bagaimana tidak terjadi berbenturan.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang ikut serta mewujudkan kemerdekaan negara ini dan menyatakan final terhadap NKRI tentu memiliki tanggungjawab besar dalam meluruskan pendapat tentang khilafah Islamiyah demi menjaga keutuhan NKRI. Berikut wawancara Ceprudin, redaktur nujateng.com dengan Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah, KH. Ubaidullah Shodaqoh atau akrab disapa Gus Ubed, tentang khilafah Islamiyah hasil keputusan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (Munas-Konbes) NU 2014.
Ceprudin: Dalam Munas-Konbes NU 4 November salah satunya membahas konsep khilafah. Kemudian dihasilkan khilafah sebagai sistem dan khilafah sebagai definisi. Maksudnya bagaimana Kyai?
Gus Ubed: Pembahasan khilafah dalam bahtsul masail Munas-Konbes itu menghasilkan kesimpulan bahwa khilafah ada dua macam; khilafah sebagai sistem dan khilafah sebagai definisi. Khilafah sebagai sistem artinya khilafah sebagai sistem pemerintahan. Dalam literatur pesantren (baca: kitab kuning), kebanyakan mengatakan bahwa satu dunia adalah satu khilafah. Tapi juga ada yang mengatakan tidak.
Sementara khilafah sebagai defisinisi artinya khilafah an-nubuwwah (pengganti kenabian). Jadi, khilafah itu fusngsinya adalah mengganti peran nabi. Peran nabi itu apa? peran nabi itu ri’ayatu ad-din wa siyasatu ad-dunya (menjaga agama dan mengatur dunia-red). Menjaga agama dan mensiasati dunia supaya makmur, supaya bermanfaat bagi manusia itu bagaimana caranya? Nah itu siyasatu ad-dunya. Kalau khilafah sebagai definisi yang artinya sebagai ri’ayatu ad-din wa siyasatu ad-dunya itu merupakan kewajiban. Kalau sebagai sistem di mana satu dunia itu satu khilafah, itu bukan merupakan suatu kewajiban. Di samping itu pada praktiknya, sejak dulu sampai sekarang tidak pernah terjadi sistem negara satu dunia atau khilafah. Hal seperti itu dalam sejarah tidak pernah terjadi. Hanya saja yang mewarnai pemikiran kita itu kan karya fikihnya al-Mawardi.
Pembahasan masalah khilafah dalam kitab-kitab itu larinya ke imamah. Imamatu ad-Daulah. Nah, padahal mendirikan satu imamah untuk satu dunia ini secara faktual sangat sulit sekali. Karena apa, kok sulit diwujudkan? karena perbedaan geografis, kultur, madzhab dan lain sebagainya. Jadi keberagaman hukum juga diakui, hukum Islam (fikih) maupun hukum nasional-internasional itu berbeda-beda.
Nah, oleh karena itu ulama memperbolehkan mendirikan dua imamah yang berbeda-beda. Apabaila disatukan itu sulit koordinasinya, sehigga tidak bisa. Bi asy-syaukah (baca: kekuasaan) jika disatukan oleh seorang imam itu tidak bisa sampai ke bawah, tidak bisa menyeluruh, dan koordinasi urusan dunia juga sulit.
Maka dalam hal ini dua daerah mempunyai dua imamah itu diperbolehkan. Nah, jika ada dua imamah dalam dua daerah itu artinya juga khilafah. Namun khilafah dalam arti secara defisini itu tadi. Jadi kalau mendirikan khilafah sebagai sebuah defisini itu merupakan sebuah kewajiban.
Di mana ada pemerintahan yang menjaga urusan dunia, itu berarti menjalankan suatu kewajiban. Tapi tidak harus satu dunia satu khilafah. Berbeda-beda juga boleh. Di Indonesia itu khilafah umpanya, di Thailand khilafah, itu tidak menjadi masalah.
Ceprudin: Kalau dalam konteks Indonesia sendiri bagaimana Kyai?
Gus Ubed: Yah sekarang Indonesia ini sudah khilafah atau belum? Kalau khilafah secara definisi sudah. Di mana di Indonesia agama sudah diurusi dalam Kementerian Agama. Bagarangkali di sana-sana juga ada yang mengurusi masalah agama. Apalagi kita mempunyai KHI (Kompilasi Hukum Islam) dan lain sebagainya.
Terlepas dari itu semua sudah sempurna dan ideal atau belum, yang jelas di sini agama sudah diurusi. Di Indonesia urusan-urusan keagamaan ini tidak bisa lepas dari pemerintahan. Kita tahulah acara-acara resmi, acara-acara hari besar Islam itu diurusi oleh negara. Kemudian masalah siyasatu ad-dunya (mengatur dunia), itu juga sangat jelas diurusi oleh negara. Jadi Indonesia ini sudah khilafah semestinya, ya khilafah dalam arti definisi tadi, atau imamah. Nah, khilafah seperti ini merupakan suatu kewajiban. Inilah yang dimaksud dalam doktrin Aswaja kita itu, wajaba nasbu al-imami al-adil (kita wajib membangun imamah atau kepemimpinan yang adil). Tentunya asumsi kita adalah adil. Kita memilih orang (untuk jadi pemimpin) ini tentunya asumsi kita itu akan adil. Jika dalam perjalanan pemimpin itu menyimpang, itu sudah persoalan lain.
Ceprudin: Jadi dalam hal ini berarti negara perlu mengambil peran dalam mengurus soal agama?
Gus Ubed: Ya, negara mengambil peran dalam soal agama bukan berarti negara menjadi otoritas keagamaan, tidak. Namun dalam hal ini, hanya mengatur. Sebab mengingat bahwa Islam dalam perkembangannya memiliki banyak madzhab hukum. Dan semua madzhab hukum ini diakui semuanya, dan itu boleh dilaksanakan.
Kalau salah itu, umpanya madzhab hukum itu salah, ya walahum ajrun, ya itu tidak menjadi masalah. Jadi umpanya ijtihadnya salah, satu imam itu salah, misalnya ada yang menyatakan, “lha itu kan salah ko diakui”. Ya salah, ya ndak masalah. Artinya kalau sudah dalam bingkai ijtihad, kita sebagai orang umum itu tidak bisa menilai.
Dan monggo itu kalau mau dilaksanakan dan itu banyak perbedaan. Artinya negara itu harus melindungi semuanya, bukan berarti menetapkan satu dan lain sebagainya. Menetapkan itu kalau ada perselisihan dua pendapat, nah baru ditetapkan satu. Barangkali umpanya masalah nikah, ada madzhab yang tidak perlu wali, terus ada madzhab yang harus ada wali. Nah ini kan timbul perselisihan, di sini baru negara memutuskan. Negara menyatakan, pakai wali saja soalnya pasti keberadaannya pakai wali. Toh madzhab yang ini menjadi sah, dan madzhab yang satunya juga menjadi sah, itu misalnya. Jadi ya negara itu campur tangan, ya dalam mengatur jalannya madzhab-madzhab itu supaya bagaimana tidak terjadi berbenturan.
Sumber NU Jateng
Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2015/01/ulama-nu-indonesia-itu-khilafah-secara.html#ixzz3QdqnGEyG
0 komentar:
Posting Komentar