[Arsip 2008] NU dan Khilafah Islamiyah menurut Gus Solah
Posted on April 20, 2014 by Administrator
Oleh : KH Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
Sejak Era Reformasi, sumbatan terhadap kebebasan berpendapat dan
berserikat dibuka. Partai politik (parpol) baru bermunculan dengan
berbagai latar belakang paham politik, kecuali yang berdasar komunisme.Pengasuh Pesantren Tebuireng
Partai Islam adalah partai yang paling banyak muncul, tetapi jumlah perolehan suaranya tidak besar. Muncul juga ormas yang memperjuangkan gagasan politik, antara lain Hizbut Tahrir Indonesia dan Majelis Mujahidin Indonesia.
Agustus 2007 HTI berhasil menyelenggarakan konferensi khilafah internasional (KKI). Keberhasilan itu memompa semangat anggota HTI di sejumlah tempat, khususnya di Jawa Timur sehingga menimbulkan gesekan dengan aktivis NU.
Ketua Umum PBNU merasa perlu turun tangan dengan menyelenggarakan pertemuan dengan pengurus tingkat cabang, kecamatan, kelurahan, serta membentuk unit organisasi di bawah kelurahan. PBNU gerah dengan kampanye HTI untuk menawarkan khilafah Islamiyah yang dianggap bisa memengaruhi sikap politik warga NU yang secara organisatoris telah menegaskan bahwa NKRI berdasar Pancasila adalah bentuk final dari negara yang diinginkan NU.
Kyai Hasyim Muzadi telah meminta pemerintah melarang HTI karena dianggap dapat membahayakan eksistensi NKRI. Diberikannya izin kepada HTI untuk menyelenggarakan konferensi khilafah internasional menunjukkan pemerintah tidak khawatir terhadap HTI. Setuju atau tidak, sejalan dengan ketentuan UUD Pasal 28, HTI tidak bisa dilarang, kecuali telah terbukti menimbulkan ketidaktertiban. Itu pun harus melalui proses hukum.
Perlukah Khilafah?
Juli lalu saya diundang berbicara di depan forum yang diselenggarakan HTI di Surabaya. Seorang ulama Sudan yang menghadiri KKI mengunjungi Tebuireng dan mengadakan dialog dengan sejumlah asatidz dan cendekiawan.
Di depan forum itu seorang ketua DPP HTI menyampaikan masalah bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, perusakan lingkungan, dan pendidikan yang tertinggal. Menurut HTI hanya ada satu jalan untuk mengatasi masalah itu, yaitu mewujudkan khilafah Islamiyah.
Saat ini ekonomi global yang didominasi kapitalis menguasai perekonomian negara berkembang. Kondisi itu membuat rakyat negara berkembang tetap miskin dan bodoh karena tidak memperoleh pendidikan memadai. Akibatnya, mereka tidak mampu mengejar ketertinggalan mereka. Cengkeraman kapitalisme, menurut HTI, hanya dapat dilawan dengan khilafah Islamiyah yang mendorong dan memungkinkan kerja sama antarnegara Islam.
Saya menanggapi pendapat itu. Pancasila sebagai dasar negara masih layak dipertahankan. Yang salah bukan Pancasila, tapi sistem pemerintahan dan mental aparat dan pejabatnya. Dengan mental aparat dan pejabat seperti saat ini, dasar negara Islam atau bahkan khilafah Islamiyah pun tidak akan banyak membantu.
Di Indonesia pernah ada organisasi Komite Khilafat Indonesia (KKI). Pada saat Kemal Ataturk menghapuskan Dinasti Turki Utsmani karena dinasti itu ada penguasa yang despotik, banyak juga ulama Indonesia di dalam KKI menentangnya. Haji Agus Salim mengingatkan tokoh yang terlibat dalam KKI bahwa khilafah tidak memiliki relevansi dengan Indonesia.
Sejak itu KKI kehilangan momentumnya. Gagasan khilafah tidak menjadi wacana arus utama umat Islam Indonesia, seperti PSII, NU, dan Muhammadiyah
Sebuah berita di koran akhir November 2007 melaporkan sebuah diskusi Abu Bakar Ba’asyir (MMI), Said Agil Siradj (NU), dan Ismail Yusanto (HTI). Diskusi itu dihadiri sebagian besar pendukung MMI dan HTI yang kerap meneriakkan Allahu Akbar apabila Said Agil menyampaikan pandangannya tentang sikap NU yang berbeda dengan sikap MMI dan HTI.
Yang ditunjukkan penentang sikap NU itu tanpa disadari pihak MMI dan HTI adalah bentuk pemaksaan pendapat paling halus yang memperkuat penolakan masyarakat terhadap gagasan mereka. Belum menjadi negara Islam atau khilafah Islamiyah, mereka sudah memaksa orang untuk membenarkan pendapat mereka. Apalagi kalau sudah menjadi khilafah Islamiyah.
Dari dasar Islam ke Pancasila
Pada Muktamar NU pertengahan 1930-an di Banjarmasin, NU tidak mempersyaratkan negara Islam. Negara Hindia Belanda adalah suatu negara yang dapat memberi kesempatan warga NU menjalankan ketentuan syariat Islam. Fakta historis inilah yang sering dikemukakan sebagai argumen bahwa NU tidak menghendaki negara Islam.
Pada awal kemerdekaan semua ormas Islam bergabung dengan Partai Masyumi. Mereka memperjuangkan negara berdasar Islam. Tidak satu pun tokoh pergerakan memperjuangkan khilafah Islamiyah atau negara Indonesia yang menjadi bagian dari suatu organisasi negara internasional.
Perjuangan khilafah Islamiyah baru terdengar gaungnya di Indonesia pasca-Orde Baru. Didirikannya Nahdlatul Waton (di Jl Kawatan Gg IV Surabaya) yang dipelopori oleh Wahab Hasbulah dan Mas Mansyur, dengan visi membangun nasionalisme melalui pendidikan dengan dukungan HOS Cokroaminoto, Raden Panji Suroso, dan Sunjoto, menunjukkan kuatnya sikap kebangsaan sejumlah tokoh ormas Islam itu.
Ahmad Baso dalam tulisannya juga menunjukkan kuatnya sikap kebangsaan itu sebagai akibat dari pengaruh Syekh Zaini Dahlan, seorang ulama terkenal di Makkah, terhadap para muridnya antara lain KH Hasyim Asy’ari dan para pendiri NU lainnya. Menurut saya, wajar kalau NU dan ormas Islam lain di dalam Masyumi memperjuangkan negara Islam pada awal kemerdekaan RI. Kalau tidak, malah tidak wajar.
Kita memperoleh kemerdekaan dan mendapat kesempatan membahas negara semacam apa yang akan kita dirikan. Mestinya tokoh utama NU saat itu banyak bergelut melalui pemikiran dengan kitab-kitab yang membawa para tokoh itu menuju cita-cita negara Islam. Pada saat itu negara Islam tidak berkonotasi negatif, kalau tidak mau disebut berkonotasi positif.
Partai NU bersama partai Islam lainnya memperjuangkan lagi dasar negara Islam dalam konstituante yang juga gagal. NU memperjuangkan posisi Piagam Jakarta saat Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945.
Piagam Jakarta dijadikan pertimbangan oleh BK bagi berlakunya kembali UUD 1945. Sebagian (kecil) warga NU, yaitu yang aktif di PPP, sampai 2001 masih memperjuangkan negara bernuansa Piagam Jakarta. Tetapi, sebagian besar, yang di PKB dan Partai Golkar, memperjuangkan negara Pancasila yang Islami.
Bagi NU, kiblat perjuangan kemerdekaan adalah Hadratus Syech KH Hasyim Asy’ari. Panglima TNI Sudirman secara teratur menjaga kontak dengan beliau.
Salah satu wujud dari kepemimpinan beliau yang diakui secara luas adalah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang berdampak pada perjuangan rakyat Surabaya 10 November 1945. Saham kalangan NU di bawah kepemimpinan Hadratus Syech dalam mendirikan NKRI amat besar.
KHA Wahid Hasyim sebagai wakil NU di dalam BPUPKI berandil menyetujui Pancasila sebagai dasar negara. Sejak dulu sampai sekarang, NU tidak pernah menyetujui khilafah Islamiyah.
NU memerlukan waktu hampir 40 tahun untuk menyadari bahwa Pancasila dan Islam bukanlah sesuatu yang bertentangan, tetapi berkesesuaian. Pada 1945 NU yang tergabung dalam Partai Masyumi memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, tetapi gagal. Piagam Jakarta yang merupakan kompromi (22 Juni 1945) akhirnya juga terpaksa dibatalkan (18 Agustus 1945).
NU dan NKRI
Setelah Munas Alim Ulama NU pada 1983 menyetujui Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila, NU menyatakan NKRI berdasar Pancasila bentuk final, sama dengan TNI dan sejumlah partai kebangsaan.
Selama ini NKRI lebih ditekankan pada kesatuan wilayah geografis daripada kesatuan harapan, kesatuan cita-cita, atau kesatuan nasib rakyat. Pemerintah Orde Baru menggunakan pendekatan keamanan untuk mempertahankannya hingga terjadi pelanggaran HAM.
Menurut saya perdebatan tentang negara Islam atau khilafah Islamiyah atau negara Pancasila akan menghabiskan waktu dan energi. Kemaslahatan umum harus diletakkan di atas kepentingan pribadi, golongan, atau partai.
Ikhtisar
– Pancasila sebagai dasar negara masih layak dipertahankan.
– Sejarah mencatat tak pernah ada tokoh Islam yang menghendaki khilafah Islamiyah.
– Islam dan Pancasila tak pernah bertentangan.
http://muslimedianews.wordpress.com/2014/04/20/arsip-2008-nu-dan-khilafah-islamiyah-menurut-gus-solah/
0 komentar:
Posting Komentar