Sebuah situs antara lain menulis, survei membuktikan bahwa mayoritas muslim Indonesia menginginkan tegaknya syari’at Islam dalam tatanan negara. Dalam merilis survei terbarunya di tahun 2014 SEM Institute menyebut, 72% masyarakat muslim Indonesia menginginkan syari’at Islam sebagai sistem negara.
“Kami melibatkan semua elemen masyarakat dalam survei kami. Dan 72
persen di antaranya yakin, solusi masalah Indonesia hanya dengan
tegaknya syari’at Islam,” kata Dr. Kusman Shadik, salah satu peneliti
SEM Institute, Rabu (19/02/2014).
Menurutnya, survei dilakukan kepada 1.498 responden dari berbagai
kalangan di 38 kota di Indonesia, pada periode 25 Desember 2013-Januari
2014.
Fakta di Lapangan
Mungkin benar bahwa 72% responden survei itu menyatakan bahwa mereka
menginginkan syari’at Islam sebagai sistem negara di Indonesia. Tapi,
apakah mereka benar-benar mewakili mulsim Indonesia? Nanti dulu.
Fakta di lapangan, demikian di antaranya ditulis oleh kompasiana.com,
dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, dengan tegas menerima Pancasila dan menolak konsep negara
Islam atau gerakan Islam syari’at di Indonesia, yang antara lain
tercermin dari perjuangan mengembalikan Piagam Jakarta ke dalam UUD
1945.
Gerakan Islam syari’at tak henti-hentinya berjuang mengembalikan
Piagam Jakarta tersebut, sebagian terang-terangan hendak mendirikan
negara Islam. Namun NU dan Muhammadiyah tetap konsisten menerima
Pancasila dan menolak konsep negara Islam dan syari’atisasi negara.
Pada tanggal 11 Agustus 2000, NU menyatakan menolak Amandemen UUD
1945 Pasal 29 maupun Pembukaan UUD 1945 yang hendak memasukkan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta, karena tidak diperlukan, baik dari tujuan
filosofis, historis, maupun substansi ajaran Islam.
Begitu pula dengan Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara
resmi mengeluarkan Maklumat/Surat Edaran No. 10/EDR/I.0/2002 bertanggal
16 Agustus 2002, yang intinya tidak mendukung atau menolak usaha
menghidupkan kembali Piagam Jakarta, baik karena alasan substansi maupun
strategi.
Penolakan NU dan Muhammadiyah terhadap upaya memasukkan Piagam
Jakarta dalam UUD 1945 tersebut terekam pula dalam laporan Majalah Forum Keadilan,
Edisi 39 (31 Desember 2000), yang secara khusus menulis laporan utama
tentang gerakan penerapan syari’at Islam yang dilakukan sejumlah
kelompok umat Islam di bawah judul Mengapa Tidak Negara Islam.
Setahun kemudian giliran Majalah TEMPO, Edisi 36/XXX/5 (11
November 2001), menurunkan laporan utama khusus mengenai gerakan
perjuangan menegakkan Piagam Jakarta dari kalangan Islam dalam judul Siapa Mau Syariat Islam.
Konsistensi NU dan Muhammadiyah dalam menolak syari’atisasi negara
sudah teruji dalam garis sejarah sejak tahun 1959 hingga saat ini.Yang
ditolak adalah syari’atisasi dalam lapangan hukum publik pidana, tata
negara, dan administrasi negara. Sedangkan untuk lapangan hukum privat
(perkawinan, waris, perjanjian, perbankan syariah, dan lain-lain) sama
sekali tidak dipermasalahkan.
Pendukung NU dan Muhammadiyah
Dalam situs id.wikipedia.org antara lain disebutkan, dalam menentukan
basis pendukung atau warga NU, ada beberapa istilah yang perlu
diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan, serta muslim
tradisionalis yang sepaham dengan NU.
Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, sampai hari ini
tidak ada satu dokumen resmi pun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena
sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apa pun
untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara
melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara
partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU.
Sedangkan dari segi paham keagamaan, bisa dilihat dari jumlah orang
yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Dalam hal ini bisa
dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002), yaitu berkisar 48% dari
muslim santri Indonesia. Jumlah keseluruhan muslim santri, yang disebut
sampai 80 juta atau lebih, adalah mereka yang sama paham keagamaannya
dengan paham kegamaan NU, namun belum tentu mereka ini semuanya warga
atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai
profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat
biasa, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifvtas
yang tinggi, karena secara sosial-ekonomi memiliki problem yang sama,
serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran Ahlussunnah wal
Jama’ah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia
pesantren, yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini kini cenderung mengalami pergeseran. Dalam
konteks pendidikan, basis intelektual dalam NU semakin meluas, sejalan
dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini
NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang
ilmu, selain dari ilmu ke-Islam-an, baik dari dalam maupun luar negeri,
termasuk negara-negara Barat.
Itu tentang basis pendukung NU. Sedang Muhammadiyah, dalam situs
directory.umm.ac.id antara lain disebutkan, hampir-hampir tidak bisa
diragukan bahwa Muhammadiyah, sebagai ormas Islam yang besar, telah
banyak memberikan kontribusi pada bangsa sepanjang sejarahnya. Ya,
dengan jumlah pengikut yang cukup besar, kira-kira 15 sampai 20 juta
jiwa, Muhammadiyah telah menempatkan diri sebagai ormas Islam terbesar
kedua setelah NU di negeri ini.
Bahkan, pencitraan atas Islam Indonesia, selain dialamatkan kepada NU
sebagai ormas terbesar, secara tidak langsung jelas dialamatkan kepada
Muhammadiyah. Hal ini tentu saja masuk akal, sebab Muhammadiyah dan NU
bisa dibilang sebagai representasi Islam Indonesia secara nasional.
Oleh sebab itulah, ketika awal tahun 2002 terjadi gegeran di republik
ini berkaitan dengan isu terorisme yang disinyalir dilakukan oleh
kelompok Islam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. A. Syafii Maarif dan
Ketua PBNU Hasyim Muzadi bergegas menjelaskan kepada publik bahwa
terorisme yang dilakukan bukanlah oleh masyarakat muslim, tetapi
individu yang beragama Islam yang sebenarnya mereka tidak memahami Islam
secara memadai, sebab perilaku terorisme, kekerasan, pembunuhan, tidak
diajarkan dalam Islam sebagai jalan penyelesaian masalah.
Apa yang dilakukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan PBNU merupakan
upaya konkret untuk menjelaskan kepada negara lain bahwa Islam Indonesia
tidak sebagaimana dicitrakan, yakni sebagai “Islam yang penuh dengan
kekerasan”. Karena itu, pencitraan atas Islam oleh dunia internasional
berkaitan dengan bagaimana Muhammadiyah dan NU “tampil” di pentas
sehingga Islam tidak sebagaimana sering dituduhkan oleh dunia
internasional.
Begitulah, NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam terbesar di
negeri ini. Maka, ketika sudah sangat jelas bahwa NU dan Muhammadiyah
menolak syari’atisasi negara, logiskah jika dikatakan bahwa 72% muslim
Indonesia menginginkan syari’at Islam sebagai sistem negara?
(au/majalah-alkisah.com)
http://www.suara-muslim.com/2014/03/survei-abal-abal-72-muslim-indonesia.html/
BalasHapusAdakah konsep Khilafah dalam Khazanah Islam?
https://bogotabb.blogspot.co.id/2017/10/adakah-konsep-khilafah-dalam-khazanah.html