MENGAKHIRI 2014
“Ketika diniatkan untuk tahun baruan penuh dengan halangan, ketika
diniatkan untuk Maulidan penuh kemudahan dan keindahan”
Tahun 2014 segera berakhir, namun
tak seperti akhir-akhir tahun sebelumnya yang sudah heboh dengan rencana
mengakhiri tahun bersama kawan-kawan diatas awan. Pada hari ke 26 bulan Desember baru terwacanakan untuk menyambut
mentari 2015 di Gunung Sindoro via Tambi yang terkenal dengan kebun tehnya.
Wacana tersebut aku cetuskan bersama Yuli, tepat seusai berkunjung dari rumah kawanku
yang akrab disapa simbah karena keteladanannya, Abdullatif. Alternatif Sindoro
via Tambi kami ambil karena jalur ini termasuk sepi, entah kenapa jarang
pendaki yang mau melalui jalur ini. Keberangkatan kami rencakan pada tanggal 31
Desember pukul 07.00 dengan berkumpul terlebih dahulu di dekat Monumen Jend
Ahmad Yani, Purworejo. Kami menargetkan untuk bisa bermalam di Puncak Sindoro.
Rekruitmen peserta pun kami mulai.
Kami berusaha mengajak adik-adik kami dari BWN-XXI dan BWN-XXII. Namun hingga pada
29 Desember kami hanya berhasil membujuk satu anak saja yaitu Rio, awal tahun
2014 lalu kami juga telah bersamanya di Gunung Slamet. Karena ketiadaan motor
dia mengajak adiknya dari BWN-XXIII, Ardi. Komunikasi intensif kami lakukan
melalui pesan singkat maupun di media sosial. Sore menjelang malam pada hari
itupun kami fix berempat menyambut mentari 2015 di Gunung Sindoro via Tambi.
Aku kembali mencoba mengajak kawan-kawan dari BWN-XXI dan BWN XXII serta BWN
XX untuk ikut bergabung. “Sambut Mentari 2015 di Gunung Sindoro, Via Tambi
(Kebun Teh), Berangkat 31 Des 2014 pkl 07.00, start depan SMK, Yang sudah fix
ikut : Bawana XX = ada, Bawana XXII = ada, Bawana XXIII = ada, Bawana XXI =
TIDAK ADA” begitulah kiranya usahaku menarik minat kawan-kawan lain untuk ikut.
Namun hal yang tak terduga
terjadi. Usahaku untuk menarik minat itu justru menyebabkan kegagalan acara
kami. Tulisanku ternyata menimbulkan konflik diantara kawan-kawanku yang lain,
akupun terjerat masuk dalam lingkaran konflik yang terjadi. Ketegangan awal
dipicu dengan adanya argument dari ketua BWN-XXI, Dimas yang menguak kisah lalu
dimana “mengharamkan” anggota baru BWN untuk diajak mendaki gunung. Aku pun
membalas dengan argument-argumenku, namun kurasa argumennya terlalu kuat untuk
aku lawan, aku pun mulai tersudut, hingga akupun meminta bantuan dari Yuli
untuk melawan argument Dimas, apa daya, argumennya begitu kuat dan berdasar ,
hingga akupun dipaksa harus mengakui bahwa aku salah. Rio pun merasa yang
paling bersalah, dengan berat hati akhirnya rio mengcancel keikutsertaan
bersamaku menyambut mentari 2015 di Gunung Sindoro. Sengaja memang tidak aku
tulis konflik apa sesungguhnya dan bagaimana argument-argumennya, tidak etis
rasanya bila diungkap disini. Tepat pada pukul 22.22 acara itu dengan berat
hati DIBATALKAN.
Kegundahan kembali menaungi. Aku
teringat perkataan dari salah seorang BWN-XXI yang menyatakan akan pergi ke
Merapi di 31 Desember. Aku mencoba mengkonfirmasi tentang kebenaran kabar
tersebut. Ternyata acara itu benar adanya, sudah ada beberapa BWN-XXI dan
diluar BWN yang dipastikan ikut serta. Mereka mempastikan bahwa ada 6 anak yang
ikut. Walaupun tidak diajak untuk berpartisipasi, aku dan Yuli mencoba
menawarkan diri agar bisa bergabung bersama mereka, dan akhirnya mereka
mengizinkan. Dan pada hari ke 30 bulan Desember itu Aku dan Yuli memastikan
diri untuk ikut. Jam 8.00 tanggal 31 Desember 2014 kami diharuskan berkumpul di
Basecamp BWN dahulu sebelum berangkat menuju Selo-Boyolali guna Mendaki Merapi
Langkah cepat kami tempuh. Tas
Carrierku dan Yuli masih dipinjam oleh kawan-kawan BWN-XXIII yang belum lama
ini digunakan untuk diksar. Yuli berusaha menghubungi Noufal, peminjam tasnya agar
segera dikembalikan, dan ternyata tas itu sudah ia kembalikan di Basecamp BWN.
Pada pagi menjelang siang 30 Desember itu Yuli bergegas menuju Basecamp untuk
mengambil tasnya dan juga sekaligus meminjam tenda milik BWN. Namun entah apa
alasannya Yuli enggan untuk mengambil tenda, dia hanya berkata bahwa ia tidak
enak hati meminjamnya.
Posisiku yang masih berada di
Jogja membuat bingung bagaimana cara mendapatkan tasku kembali. Siang itu aku
bersiap untuk menuju stasiun Tugu Jogjakarta. Aku akan pulang ke Purworejo
dengan KA Prambanan Ekspres yang tiketnya hanya Rp 6000 itu. Walaupun jadwal
kereta masih jam 15.40, siang itu ba’da Dzuhur aku berangkat ke stasiun dengan
sepeda ontel Polygon KW milikku.
Rintangan kembali datang
menghampiri. Ketika aku ambil sepedaku dari Garasi ternyata roda belakang
sepedakempes, setelah kuperiksa ternyata sebuah paku pinus kecil telah menembus
roda. Aku menuntun sepedaku sembari mencari dimana ada tukang tambal ban. Jam
sudah menunjukkan Pukul 12.46, akupun telah sampai di tempat tambal ban.
Bengkel kecil ini terlihat sepi, aku mencoba memanggil-manggil namun tak juga
muncul tukang tambal ban itu. Ternyata tukang tambal ban itu sedang tidur
siang, ibu penjaga warung makan yang ada tepat di samping bengkel kecil tambal
ban itu pun menyarankan mencari tempat lain untuk tembal banku.
Tak jauh dari tambal ban itu nampak
sebuah warung kecil juga memasang tulisan “tambal ban” di depannya. Aku harus berjalan
menuntun sepeda melewati satu lampu merah untuk dapat sampai di warung itu.
Sesampainya di warung itu aku langsung dilayani. Kejanggalan aku temui ketika
tukang tambal ban itu mendeteksi titik kebocoran yang ada di ban. Aku mencurigai dia mencoba menambah lubang
yang ada, karena dia memegang subuah lidi yang sudah dibuat runcing ujungnya.
Satu lubang telah terdeteksi, dengan sedikit berbasa-basi-busuk sambil menunggu
akhirnya proses penambalan pun selesai. Namun waktu sudah menunjukkan Pukul
14.00, ketika hendak membayar aku melihat tingkah aneh dari tukang tambal ban
itu, dia seakan-akan terus memeriksa keadaan ban belakang, ketika aku Tanya dia
pun Nampak mencurigakan jawabannya. Hingga akhirnya dia minta izin untuk
kembali membongkar ban belakang sepedaku, dengan masih curiga aku mengizinkan,
dalam hatiku sudah menebak dari awal kalau orang ini main-main dalam menambal.
Dia kembali mendeteksi kebocoran yang ada di ban, sebelum dia menemukan
kebocoran aku sudah terlebih dulu melihat jelas bekas tusukan ada di ban
sepedaku itu, namun lubang itu jelas sekali besarnya, tak usah dengan mencelupkan
ke air pun sudah bisa terlihat, ya, jelas itu bukan karena tusukan paku, itu
bekas tusukan lidi yang sudah aku lihat diawal tadi.
Sambil menunggu tambalan kedua
ini selesai aku mencoba menghubungi Slamet, peminjam tas carrierku, dia kuminta
untuk mengantarkan tas ke stasiun jenar. Rencanaku nanti keteka kereta berhenti
di stasiun Jenar aku akan turun dari kereta, kemudian mengambil tas dan naik
kereta lagi. Namun Slamet tak kunjung bisa dihubungi. Setelah beberapa saat dia
menyatakan setuju dengan rencanaku. Pukul 14.30 akhirnya tambalan kedua
selesai, akupun diharuskan membayar 10ribu. Aku segera bersepeda menuju stasiun melalui pasar
Beringharjo terlebih dulu untuk membeli barang titipan mamakku dan juga mampir
di Malioboro untuk sekedar membeli Bakpia untuk bekal pendakian.
Jam 14.45 aku tiba di Stasiun
Tugu Jogjakarta. Sepeda aku titipkan di penitipan yang tersedia. Antrian di
loket ternyata sudah mengular, aku pun masuk dalam antrian, hingga akhirnya
setelah antre hingga jam 15.10 aku sampai di tengah antrean, namun anehnya
antrean tidak bergerak sama sekali, ternyata tiket ke Kutoarjo sudah habis,
begitupula dengan tiket ke Solo. Antrean di depan dan belakangku yang masih
mengular ternyata menunggu dibukanya pembelian tiket ke Solo pemberangkatan
selanjutnya. Rencana jahatku muncul. Apapun caranya aku harus bisa naik kereta
Prameks tujuan Kutoarjo. Akupun merangsek ke depan, aku harus membeli tiket
untuk bisa masuk stasiun, akhirnya aku putuskan untuk membeli tiket Prameks
tujuan Maguwo atau Bandara, harganya pun sama, Rp 6000.
Dengan tiket KA Prameks tujuan
stasiun Jogjakarta-Maguwo itu aku bisa masuk stasiun, dan aku bergegas menuju
Musholla stasiun untuk Sholat Ashar. Tepat jam 15.30 seusai sholat aku menunggu
di peron Utara tempat dimana kereta jurusan Kutoarjo akan datang. Komunikasi
dengan Slamet terus kujalani sambil menunggu datangnya kereta. Di dalam stasiun
ternyata sudah ada Mas Iim beserta calon Istrinya yang juga akan pulang ke
Purworejo. Mas Iim adalah BWN-XVIII. Kereta yang dijadwalkan 15.40 baru datang
sekitar jam 16,00. Aku duduk di kereta bersama Mas Iim dan calon istrinya,
tiketku disatukan dengan tiket mereka, hingga akhirnya saat-saat yang
menegangkan tiba, petugas pemeriksa tiket telah datang, syukurlah tidak
ketahuan kalau tiketku tidak sesuai dengan kereta yang aku naiki.
Slamet sudah bersiap di Stasiun
Jenar dengan tas carrierku sejak jam setengah lima, namun kereta baru sampai di
Stasiun Jenar jam lima tepat. Ketika kereta sampai di stasiun jenar dan pintu
kereta terbuka aku langsung loncat dari kereta, lalu lompat lagi melewati tiga
rel kereta dan karena posisiku yang ada di gerbong belakang mengharuskanku
untuk berlari sekencepat-cepatnya menuju
pintu masuk (pintu pemeriksaan tiket), setibanya di pintu tanpa basa-basi
Slamet dari luar pagar langsung menyodorkan tas carrier, aku pun dengan cekatan
menerimanya. Aku hanya berucap terima kasih dan bersalaman dengan Slamet, kemudian
kembali berlari menuju kereta, wajar saja karena di Stasiun Jenar ini kereta
hanya berhenti untuk turun penumpang. Rel demi rel aku lompati kembali dan syukurlah
akhirnya aku bisa masuk di kereta lagi, pintu kereta ditutup dan kereta kembali
berjalan. Mas Iim ternyata telah turun di Stasiun Jenar. Aku masih sempat
melihatnya dari pintu kereta, aku melambaikan tangan sebagai salam perpisahan,
entah kapan aku bisa bertemu dengan Mas Iim lagi, karena esok ia akan kembali
ke perantauannya. Mas IIm mebalas lambaian tanganku sembari tersenyum.
Sesampainya di Kutoarjo aku
bergegas pulang ke rumah dengan membawa tas carier besar bersama Bapakku yang
sudah datang menjemput. Setelah mandi dan makan, adzan maghrib di Musholla
berkumandang, seperti biasa Bapakku yang mengumandangkan, segeralah aku
menyusul ke Musholla.
Kabar mengejutkan datang ketika
aku membuka hp sepulang dari Musholla. Melalui pesan singkat Yuli secara
mendadak membatalkan rencana ke Gunung Merapi yang semula telah disepakati. Dia
beralasan ada kepentingan keluarga yang tak mampu untuk ia tinggalkan. Setelah
gagal ke Sindoro kini aku pun harus menelan pil pahit, rencana ke Merapi harus
aku ikhlaskan untuk BATAL. Beginilah nasib yang tak punya kendaraan sendiri,
bila yang ditumpangi membatalkan otomatis ikut batal.
Yuli ternyata tak lepas peduli
begitu aja, dia memberi solusi agar aku bisa tetap ke Merapi. Dia memberi tahu
bahwa Abdullatif juga akan ke Merapi, dia menyarankan agar aku menumpang Abdullatif.
Aku tak tahu sebelumnya jika Latif juga akan ikut ke Merapi. Yang aku tahu Abdullatif
bersama rekan kerjanya dari Klaten akan mendaki Gunung Merbabu. Ternyata tanpa
sepengetahuanku sebelumnya Yuli telah mempengaruhi Abdullatif dkk supaya
mengalihkan rencananya dari Merbabu ke Merapi. Malam itu aku sedikit lega, ada
harapan untuk bisa ke Merapi. Aku pun mencoba menghubungi Abdullatif untuk
mengkonfirmasi hal tersebut.
Selain menghubungi Abdullatif aku
juga intensif komunikasi dengan Arifin, rekan kerja Abdullatif dari Klaten.
Mereka dari klaten bersedia untuk membawa Tenda. Namun Kepastian belum aku
dapat dari Abdullatif, dia mengabarkan bahwa ia ada keperluan untuk
mengantarkan saudaranya ke Rumah Sakit esok pagi, padahal keberangkatan dari
Basecamp BWN telah disepakati pukul 8.00, sedangkan Abdullatif memperkirakan
bahwa ia pulang dari rumah sakit sekitar Pukul 14.00 sore. Malam itu berakhir
dengan krtidakpastian, Abdullatif masih sulit dihubungi karena gangguan sinyal
ditempatnya. Dia hanya menawarkan untuk berangkat sore, berpisah dengan
rombongan rekan-rekan BWN.
Hari sudah menginjak tanggal 31
Desember 2014. Pagi itu penuh dengan kegelisahan. Edi, kawanku yang baru
beberapa hari pulang dari perantauan, mengajak aku untuk berkunjung ke rumah
Dedek yang ada di Desa sebelah, aku pun menyetujuinya, harapanku bisa sedikit
tenang dengan kumpul bersama rekan-rekan yang sudah beberapa bulan tidak
bertemu. Disamping itu aku juga masih terus mencoba komunikasi dengan Abdullatif.
Jarum jam hampir menunjuk pada
angka 10, kepastian akhirnya aku dapat dari Abdullatif. Dia memastikan bahwa
kami berdua jadi ke Gunung Merapi dan akan berangkat jam 14.00 siang. Tak
berselang lama Edi datang, aku belum mempersiapkan apa-apa untuk ke Merapi,
tapi karena sudah terlanjur janji akhirnya aku ikut pergi ke rumah Dedek, Edi
menjanjikan untuk pulang ketika Dzuhur. Aku perhitungkan 1 jam cukup untuk nanti packing.
Sesampainya di rumah Dedek aku
hanya terdiam melihat Edi dan Dedek asyik dengan gadget canggih baru milik
mereka yang dibeli dengan uang hasil jerit payah mereka selama bekerja, sembari
aku masih mengkomunikasikan keberangkatan dengan Abdullatif. Satu per satu
rekan yang lain pun datang, tak berbeda jauh, mereka yang datang juga saling
menunjukkan gadget mereka. Selanjutnya film Doraemon mereka putar di Laptop,
aku pun ikut terkesima menonton. Mangga, clorot, cenil, dan balung kuwuk yang
disajikan Dedek semakin berkurang. Azan Dzuhur juga sudah berkumandang namun
film Doraemon belum juga selesai.
Setelah film selesai, sekitar
pukul 13.00 aku minta Edi untuk mengantarku pulang. Janjiku dengan Abdullatif pukul
14.00 berangkat. Pada waktu yang bersamaan Abdullatif mengabarkan bahwa ia masih
berada di Basecamp BWN untuk meminjam kompor. Waktu satu jam aku gunakan
semaksimal mungkin untuk packing. Akhirnya jarum jam menunjukkan angka 2, packing
telah selesai, tapi Abdullatif malah mengundur keberangkatan menjadi pukul 15.00.
Sementara pihak dari Klaten telah sampai di Basecamp Pendakian Merapi Via
Selo-Boyolali sekitar pukul 14.30 WIB.
Akhirnya Pukul 15.25 WIB aku dan Abdullatif
berangkat menuju Selo-Boyolali. Karena tidak tahu jalan kami sempat salah jalan
hingga sampai ke Sleman, Yogyakarta. Kami tiba di wilayah Selo sekitar Pukul
19.15. Karena persiapan yang minim tadi, kami harus menambah perbekalan untuk
pendakian. Setelah selesai belanja dan sholat Isya kami menuju Basecamp
Pendakian Gunung Merapi. Disana sudah menunggu rekan Latif dari Klaten, Arifin
beserta Febriyanto. Setelah registrasi kami memulai pendakian sekitar pukul
20.15. Pendakian malam itu terasa sangat indah, dengan terangnya cahaya bulan
kami tak lagi membutuhkan senter, sebenernya sih lupa bawa senter, hehehe. Malam
semakin indah dengan adanya Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, dan Gunung Sumbing yang
tak sungkan untuk menunjukkan kegagahannya. Cahaya senter seringkali memancar
dari atas ketinggian Gunung Merbabu di seberang sana.
Impian mengakhiri 2014 diatas
awan akhirnya telah terwujud, walaupun harus dipenuhi banyak lika-liku untuk
mewujudkannya. Dalam perjalanan malam itu kami teringat tentang Maulid Nabi Muhammad
SAW yang jatuh pada 3 Januari 2015, dengan mengingat perjuangan Rasulullah SAW
kami semakin bersemangat dalam mendaki Merapi. Pendakian ini belumlah seberapa
dibandingkan dengan perjuangan Nabi di masa itu. Pendakian ini pun kami niatkan
untuk mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Sehingga pendakian kami berjalan
dengan sangat lancar tanpa banyak halangan yang menghadang.
Kami bertemu dengan rombongan
kawan-kawan BWN di pasar bubrah, mereka terlihat kecewa karena ditutupnya akses
menuju Puncak Gunung Merapi (Puncak Barameru) oleh Tim SAR.
Ini Kisahku, mana kisahmu?
Amanat yang bisa diambil :
Ketika pendakian diniatkan untuk
memperingati akhir tahun – awal tahun maka akan penuh dengan haling rintang,
mulai dari gagal ke Sindoro, ban bocor, tiket kereta habis, sempat hampir gagal
ke Merapi, salah jalan hingga sampai ke jogja, dll. Begitu pula pada
tahun-tahun sebelumnya, pendakian tahun baru 2013 aku harus menghadapi hujan badai,
petir, lupa bawa tenda, dll, begitu pula ketika pendakian tahun baru 2014 di
Gunung Slamet, cuaca sangat tidak mendukung, hujan lebat terjadi, jalur
pendakian menjadi sangat licin dan tidak bisa dilaluli, terpeleset tak
terhitung sampai berapa kali, ketika sampai di puncak Slamet kami juga harus
melawan angin yang sangat kencang berhembus.
Keajaiban datang ketika sampai di
Merapi, pendakian kami niatkan untuk sedikit merasakan sedikit susah payah yang
pernah dilakukan Rasulullah SAW, dengan kata lain mendekatkan diri kepada Allah
SWT, cahaya bulan terang benderang, baju kami tak terbasahi air hujan, rasa
lelah seakan tak muncul. Nasib berbeda dialami Yuli, setelah acara keluarga
selesai, Pukul 01 dini hari ia ternyata berangkat menyusul ke Merapi, namu
belum melebati batas kabupaten ia harus kembali karena hujan lebat melanda,
sedang ia tak membawa mantol. Ini terjadi karena Yuli meniatkan ke Merapi untuk
menyambut mentari 2015. Wallahu a’lam.
Maha suci Allah.