Social Icons

Jumat, 09 Januari 2015

MENGAKHIRI 2014



MENGAKHIRI 2014
“Ketika diniatkan untuk tahun baruan penuh dengan halangan, ketika diniatkan untuk Maulidan penuh kemudahan dan keindahan”



Tahun 2014 segera berakhir, namun tak seperti akhir-akhir tahun sebelumnya yang sudah heboh dengan rencana mengakhiri tahun bersama kawan-kawan diatas awan. Pada hari ke 26  bulan Desember baru terwacanakan untuk menyambut mentari 2015 di Gunung Sindoro via Tambi yang terkenal dengan kebun tehnya. Wacana tersebut aku cetuskan bersama Yuli, tepat seusai berkunjung dari rumah kawanku yang akrab disapa simbah karena keteladanannya, Abdullatif. Alternatif Sindoro via Tambi kami ambil karena jalur ini termasuk sepi, entah kenapa jarang pendaki yang mau melalui jalur ini. Keberangkatan kami rencakan pada tanggal 31 Desember pukul 07.00 dengan berkumpul terlebih dahulu di dekat Monumen Jend Ahmad Yani, Purworejo. Kami menargetkan untuk bisa bermalam di Puncak Sindoro.

Rekruitmen peserta pun kami mulai. Kami berusaha mengajak adik-adik kami dari BWN-XXI dan BWN-XXII. Namun hingga pada 29 Desember kami hanya berhasil membujuk satu anak saja yaitu Rio, awal tahun 2014 lalu kami juga telah bersamanya di Gunung Slamet. Karena ketiadaan motor dia mengajak adiknya dari BWN-XXIII, Ardi. Komunikasi intensif kami lakukan melalui pesan singkat maupun di media sosial. Sore menjelang malam pada hari itupun kami fix berempat menyambut mentari 2015 di Gunung Sindoro via Tambi.
Aku kembali mencoba mengajak kawan-kawan dari BWN-XXI dan BWN XXII serta BWN XX untuk ikut bergabung. “Sambut Mentari 2015 di Gunung Sindoro, Via Tambi (Kebun Teh), Berangkat 31 Des 2014 pkl 07.00, start depan SMK, Yang sudah fix ikut : Bawana XX = ada, Bawana XXII = ada, Bawana XXIII = ada, Bawana XXI = TIDAK ADA” begitulah kiranya usahaku menarik minat kawan-kawan lain untuk ikut.
Namun hal yang tak terduga terjadi. Usahaku untuk menarik minat itu justru menyebabkan kegagalan acara kami. Tulisanku ternyata menimbulkan konflik diantara kawan-kawanku yang lain, akupun terjerat masuk dalam lingkaran konflik yang terjadi. Ketegangan awal dipicu dengan adanya argument dari ketua BWN-XXI, Dimas yang menguak kisah lalu dimana “mengharamkan” anggota baru BWN untuk diajak mendaki gunung. Aku pun membalas dengan argument-argumenku, namun kurasa argumennya terlalu kuat untuk aku lawan, aku pun mulai tersudut, hingga akupun meminta bantuan dari Yuli untuk melawan argument Dimas, apa daya, argumennya begitu kuat dan berdasar , hingga akupun dipaksa harus mengakui bahwa aku salah. Rio pun merasa yang paling bersalah, dengan berat hati akhirnya rio mengcancel keikutsertaan bersamaku menyambut mentari 2015 di Gunung Sindoro. Sengaja memang tidak aku tulis konflik apa sesungguhnya dan bagaimana argument-argumennya, tidak etis rasanya bila diungkap disini. Tepat pada pukul 22.22 acara itu dengan berat hati DIBATALKAN.

Kegundahan kembali menaungi. Aku teringat perkataan dari salah seorang BWN-XXI yang menyatakan akan pergi ke Merapi di 31 Desember. Aku mencoba mengkonfirmasi tentang kebenaran kabar tersebut. Ternyata acara itu benar adanya, sudah ada beberapa BWN-XXI dan diluar BWN yang dipastikan ikut serta. Mereka mempastikan bahwa ada 6 anak yang ikut. Walaupun tidak diajak untuk berpartisipasi, aku dan Yuli mencoba menawarkan diri agar bisa bergabung bersama mereka, dan akhirnya mereka mengizinkan. Dan pada hari ke 30 bulan Desember itu Aku dan Yuli memastikan diri untuk ikut. Jam 8.00 tanggal 31 Desember 2014 kami diharuskan berkumpul di Basecamp BWN dahulu sebelum berangkat menuju Selo-Boyolali guna Mendaki Merapi

Langkah cepat kami tempuh. Tas Carrierku dan Yuli masih dipinjam oleh kawan-kawan BWN-XXIII yang belum lama ini digunakan untuk diksar. Yuli berusaha menghubungi Noufal, peminjam tasnya agar segera dikembalikan, dan ternyata tas itu sudah ia kembalikan di Basecamp BWN. Pada pagi menjelang siang 30 Desember itu Yuli bergegas menuju Basecamp untuk mengambil tasnya dan juga sekaligus meminjam tenda milik BWN. Namun entah apa alasannya Yuli enggan untuk mengambil tenda, dia hanya berkata bahwa ia tidak enak hati meminjamnya.

Posisiku yang masih berada di Jogja membuat bingung bagaimana cara mendapatkan tasku kembali. Siang itu aku bersiap untuk menuju stasiun Tugu Jogjakarta. Aku akan pulang ke Purworejo dengan KA Prambanan Ekspres yang tiketnya hanya Rp 6000 itu. Walaupun jadwal kereta masih jam 15.40, siang itu ba’da Dzuhur aku berangkat ke stasiun dengan sepeda ontel Polygon KW milikku.

Rintangan kembali datang menghampiri. Ketika aku ambil sepedaku dari Garasi ternyata roda belakang sepedakempes, setelah kuperiksa ternyata sebuah paku pinus kecil telah menembus roda. Aku menuntun sepedaku sembari mencari dimana ada tukang tambal ban. Jam sudah menunjukkan Pukul 12.46, akupun telah sampai di tempat tambal ban. Bengkel kecil ini terlihat sepi, aku mencoba memanggil-manggil namun tak juga muncul tukang tambal ban itu. Ternyata tukang tambal ban itu sedang tidur siang, ibu penjaga warung makan yang ada tepat di samping bengkel kecil tambal ban itu pun menyarankan mencari tempat lain untuk tembal banku.

Tak jauh dari tambal ban itu nampak sebuah warung kecil juga memasang tulisan “tambal ban” di depannya. Aku harus berjalan menuntun sepeda melewati satu lampu merah untuk dapat sampai di warung itu. Sesampainya di warung itu aku langsung dilayani. Kejanggalan aku temui ketika tukang tambal ban itu mendeteksi titik kebocoran yang ada di ban.  Aku mencurigai dia mencoba menambah lubang yang ada, karena dia memegang subuah lidi yang sudah dibuat runcing ujungnya. Satu lubang telah terdeteksi, dengan sedikit berbasa-basi-busuk sambil menunggu akhirnya proses penambalan pun selesai. Namun waktu sudah menunjukkan Pukul 14.00, ketika hendak membayar aku melihat tingkah aneh dari tukang tambal ban itu, dia seakan-akan terus memeriksa keadaan ban belakang, ketika aku Tanya dia pun Nampak mencurigakan jawabannya. Hingga akhirnya dia minta izin untuk kembali membongkar ban belakang sepedaku, dengan masih curiga aku mengizinkan, dalam hatiku sudah menebak dari awal kalau orang ini main-main dalam menambal. Dia kembali mendeteksi kebocoran yang ada di ban, sebelum dia menemukan kebocoran aku sudah terlebih dulu melihat jelas bekas tusukan ada di ban sepedaku itu, namun lubang itu jelas sekali besarnya, tak usah dengan mencelupkan ke air pun sudah bisa terlihat, ya, jelas itu bukan karena tusukan paku, itu bekas tusukan lidi yang sudah aku lihat diawal tadi.

Sambil menunggu tambalan kedua ini selesai aku mencoba menghubungi Slamet, peminjam tas carrierku, dia kuminta untuk mengantarkan tas ke stasiun jenar. Rencanaku nanti keteka kereta berhenti di stasiun Jenar aku akan turun dari kereta, kemudian mengambil tas dan naik kereta lagi. Namun Slamet tak kunjung bisa dihubungi. Setelah beberapa saat dia menyatakan setuju dengan rencanaku. Pukul 14.30 akhirnya tambalan kedua selesai, akupun diharuskan membayar 10ribu. Aku segera  bersepeda menuju stasiun melalui pasar Beringharjo terlebih dulu untuk membeli barang titipan mamakku dan juga mampir di Malioboro untuk sekedar membeli Bakpia untuk bekal pendakian.

Jam 14.45 aku tiba di Stasiun Tugu Jogjakarta. Sepeda aku titipkan di penitipan yang tersedia. Antrian di loket ternyata sudah mengular, aku pun masuk dalam antrian, hingga akhirnya setelah antre hingga jam 15.10 aku sampai di tengah antrean, namun anehnya antrean tidak bergerak sama sekali, ternyata tiket ke Kutoarjo sudah habis, begitupula dengan tiket ke Solo. Antrean di depan dan belakangku yang masih mengular ternyata menunggu dibukanya pembelian tiket ke Solo pemberangkatan selanjutnya. Rencana jahatku muncul. Apapun caranya aku harus bisa naik kereta Prameks tujuan Kutoarjo. Akupun merangsek ke depan, aku harus membeli tiket untuk bisa masuk stasiun, akhirnya aku putuskan untuk membeli tiket Prameks tujuan Maguwo atau Bandara, harganya pun sama, Rp 6000.

Dengan tiket KA Prameks tujuan stasiun Jogjakarta-Maguwo itu aku bisa masuk stasiun, dan aku bergegas menuju Musholla stasiun untuk Sholat Ashar. Tepat jam 15.30 seusai sholat aku menunggu di peron Utara tempat dimana kereta jurusan Kutoarjo akan datang. Komunikasi dengan Slamet terus kujalani sambil menunggu datangnya kereta. Di dalam stasiun ternyata sudah ada Mas Iim beserta calon Istrinya yang juga akan pulang ke Purworejo. Mas Iim adalah BWN-XVIII. Kereta yang dijadwalkan 15.40 baru datang sekitar jam 16,00. Aku duduk di kereta bersama Mas Iim dan calon istrinya, tiketku disatukan dengan tiket mereka, hingga akhirnya saat-saat yang menegangkan tiba, petugas pemeriksa tiket telah datang, syukurlah tidak ketahuan kalau tiketku tidak sesuai dengan kereta yang aku naiki.

Slamet sudah bersiap di Stasiun Jenar dengan tas carrierku sejak jam setengah lima, namun kereta baru sampai di Stasiun Jenar jam lima tepat. Ketika kereta sampai di stasiun jenar dan pintu kereta terbuka aku langsung loncat dari kereta, lalu lompat lagi melewati tiga rel kereta dan karena posisiku yang ada di gerbong belakang mengharuskanku untuk berlari sekencepat-cepatnya  menuju pintu masuk (pintu pemeriksaan tiket), setibanya di pintu tanpa basa-basi Slamet dari luar pagar langsung menyodorkan tas carrier, aku pun dengan cekatan menerimanya. Aku hanya berucap terima kasih dan bersalaman dengan Slamet, kemudian kembali berlari menuju kereta, wajar saja karena di Stasiun Jenar ini kereta hanya berhenti untuk turun penumpang. Rel demi rel aku lompati kembali dan syukurlah akhirnya aku bisa masuk di kereta lagi, pintu kereta ditutup dan kereta kembali berjalan. Mas Iim ternyata telah turun di Stasiun Jenar. Aku masih sempat melihatnya dari pintu kereta, aku melambaikan tangan sebagai salam perpisahan, entah kapan aku bisa bertemu dengan Mas Iim lagi, karena esok ia akan kembali ke perantauannya. Mas IIm mebalas lambaian tanganku sembari tersenyum.

Sesampainya di Kutoarjo aku bergegas pulang ke rumah dengan membawa tas carier besar bersama Bapakku yang sudah datang menjemput. Setelah mandi dan makan, adzan maghrib di Musholla berkumandang, seperti biasa Bapakku yang mengumandangkan, segeralah aku menyusul ke Musholla.

Kabar mengejutkan datang ketika aku membuka hp sepulang dari Musholla. Melalui pesan singkat Yuli secara mendadak membatalkan rencana ke Gunung Merapi yang semula telah disepakati. Dia beralasan ada kepentingan keluarga yang tak mampu untuk ia tinggalkan. Setelah gagal ke Sindoro kini aku pun harus menelan pil pahit, rencana ke Merapi harus aku ikhlaskan untuk BATAL. Beginilah nasib yang tak punya kendaraan sendiri, bila yang ditumpangi membatalkan otomatis ikut batal.

Yuli ternyata tak lepas peduli begitu aja, dia memberi solusi agar aku bisa tetap ke Merapi. Dia memberi tahu bahwa Abdullatif juga akan ke Merapi, dia menyarankan agar aku menumpang Abdullatif. Aku tak tahu sebelumnya jika Latif juga akan ikut ke Merapi. Yang aku tahu Abdullatif bersama rekan kerjanya dari Klaten akan mendaki Gunung Merbabu. Ternyata tanpa sepengetahuanku sebelumnya Yuli telah mempengaruhi Abdullatif dkk supaya mengalihkan rencananya dari Merbabu ke Merapi. Malam itu aku sedikit lega, ada harapan untuk bisa ke Merapi. Aku pun mencoba menghubungi Abdullatif untuk mengkonfirmasi hal tersebut.

Selain menghubungi Abdullatif aku juga intensif komunikasi dengan Arifin, rekan kerja Abdullatif dari Klaten. Mereka dari klaten bersedia untuk membawa Tenda. Namun Kepastian belum aku dapat dari Abdullatif, dia mengabarkan bahwa ia ada keperluan untuk mengantarkan saudaranya ke Rumah Sakit esok pagi, padahal keberangkatan dari Basecamp BWN telah disepakati pukul 8.00, sedangkan Abdullatif memperkirakan bahwa ia pulang dari rumah sakit sekitar Pukul 14.00 sore. Malam itu berakhir dengan krtidakpastian, Abdullatif masih sulit dihubungi karena gangguan sinyal ditempatnya. Dia hanya menawarkan untuk berangkat sore, berpisah dengan rombongan rekan-rekan BWN.

Hari sudah menginjak tanggal 31 Desember 2014. Pagi itu penuh dengan kegelisahan. Edi, kawanku yang baru beberapa hari pulang dari perantauan, mengajak aku untuk berkunjung ke rumah Dedek yang ada di Desa sebelah, aku pun menyetujuinya, harapanku bisa sedikit tenang dengan kumpul bersama rekan-rekan yang sudah beberapa bulan tidak bertemu. Disamping itu aku juga masih terus mencoba komunikasi dengan Abdullatif.

Jarum jam hampir menunjuk pada angka 10, kepastian akhirnya aku dapat dari Abdullatif. Dia memastikan bahwa kami berdua jadi ke Gunung Merapi dan akan berangkat jam 14.00 siang. Tak berselang lama Edi datang, aku belum mempersiapkan apa-apa untuk ke Merapi, tapi karena sudah terlanjur janji akhirnya aku ikut pergi ke rumah Dedek, Edi menjanjikan untuk pulang ketika Dzuhur. Aku perhitungkan  1 jam cukup untuk nanti packing.

Sesampainya di rumah Dedek aku hanya terdiam melihat Edi dan Dedek asyik dengan gadget canggih baru milik mereka yang dibeli dengan uang hasil jerit payah mereka selama bekerja, sembari aku masih mengkomunikasikan keberangkatan dengan Abdullatif. Satu per satu rekan yang lain pun datang, tak berbeda jauh, mereka yang datang juga saling menunjukkan gadget mereka. Selanjutnya film Doraemon mereka putar di Laptop, aku pun ikut terkesima menonton. Mangga, clorot, cenil, dan balung kuwuk yang disajikan Dedek semakin berkurang. Azan Dzuhur juga sudah berkumandang namun film Doraemon belum juga selesai.

Setelah film selesai, sekitar pukul 13.00 aku minta Edi untuk mengantarku pulang. Janjiku dengan Abdullatif pukul 14.00 berangkat. Pada waktu yang bersamaan Abdullatif mengabarkan bahwa ia masih berada di Basecamp BWN untuk meminjam kompor. Waktu satu jam aku gunakan semaksimal mungkin untuk packing. Akhirnya jarum jam menunjukkan angka 2, packing telah selesai, tapi Abdullatif malah mengundur keberangkatan menjadi pukul 15.00. Sementara pihak dari Klaten telah sampai di Basecamp Pendakian Merapi Via Selo-Boyolali sekitar pukul 14.30 WIB.

Akhirnya Pukul 15.25 WIB aku dan Abdullatif berangkat menuju Selo-Boyolali. Karena tidak tahu jalan kami sempat salah jalan hingga sampai ke Sleman, Yogyakarta. Kami tiba di wilayah Selo sekitar Pukul 19.15. Karena persiapan yang minim tadi, kami harus menambah perbekalan untuk pendakian. Setelah selesai belanja dan sholat Isya kami menuju Basecamp Pendakian Gunung Merapi. Disana sudah menunggu rekan Latif dari Klaten, Arifin beserta Febriyanto. Setelah registrasi kami memulai pendakian sekitar pukul 20.15. Pendakian malam itu terasa sangat indah, dengan terangnya cahaya bulan kami tak lagi membutuhkan senter, sebenernya sih lupa bawa senter, hehehe. Malam semakin indah dengan adanya Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, dan Gunung Sumbing yang tak sungkan untuk menunjukkan kegagahannya. Cahaya senter seringkali memancar dari atas ketinggian Gunung Merbabu di seberang sana.

Impian mengakhiri 2014 diatas awan akhirnya telah terwujud, walaupun harus dipenuhi banyak lika-liku untuk mewujudkannya. Dalam perjalanan malam itu kami teringat tentang Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 3 Januari 2015, dengan mengingat perjuangan Rasulullah SAW kami semakin bersemangat dalam mendaki Merapi. Pendakian ini belumlah seberapa dibandingkan dengan perjuangan Nabi di masa itu. Pendakian ini pun kami niatkan untuk mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Sehingga pendakian kami berjalan dengan sangat lancar tanpa banyak halangan yang menghadang.

Kami bertemu dengan rombongan kawan-kawan BWN di pasar bubrah, mereka terlihat kecewa karena ditutupnya akses menuju Puncak Gunung Merapi (Puncak Barameru) oleh Tim SAR.

Ini Kisahku, mana kisahmu?

Amanat yang bisa diambil :

Ketika pendakian diniatkan untuk memperingati akhir tahun – awal tahun maka akan penuh dengan haling rintang, mulai dari gagal ke Sindoro, ban bocor, tiket kereta habis, sempat hampir gagal ke Merapi, salah jalan hingga sampai ke jogja, dll. Begitu pula pada tahun-tahun sebelumnya, pendakian tahun baru 2013 aku harus menghadapi hujan badai, petir, lupa bawa tenda, dll, begitu pula ketika pendakian tahun baru 2014 di Gunung Slamet, cuaca sangat tidak mendukung, hujan lebat terjadi, jalur pendakian menjadi sangat licin dan tidak bisa dilaluli, terpeleset tak terhitung sampai berapa kali, ketika sampai di puncak Slamet kami juga harus melawan angin yang sangat kencang berhembus.
Keajaiban datang ketika sampai di Merapi, pendakian kami niatkan untuk sedikit merasakan sedikit susah payah yang pernah dilakukan Rasulullah SAW, dengan kata lain mendekatkan diri kepada Allah SWT, cahaya bulan terang benderang, baju kami tak terbasahi air hujan, rasa lelah seakan tak muncul. Nasib berbeda dialami Yuli, setelah acara keluarga selesai, Pukul 01 dini hari ia ternyata berangkat menyusul ke Merapi, namu belum melebati batas kabupaten ia harus kembali karena hujan lebat melanda, sedang ia tak membawa mantol. Ini terjadi karena Yuli meniatkan ke Merapi untuk menyambut mentari 2015. Wallahu a’lam.
Maha suci Allah.

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon Diklik dan Suka/Like/Seneng

Pengikut

 

BANGUNLAH

Dimana Semua Bangsa

SUATU DUNIA

Hidup Dalam Damai

Dan Persaudaraan

Kita Harus Tau

“Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong”

Pendapat untuk blog ini ?

 
Blogger Templates