MATA KULIAH UMUM
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“ADAT PERKAWINAN DI ETNIS TIONGHOA
SEBAGAI CERMINAN KETAHANAN BUDAYA BANGSA”
Disusun Oleh :
Farid Nur Rohman
NIM :
3312415053
PROGRAM
STUDI ILMU POLITIK
JURUSAN
POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai bagian dari masyarakat
Indonesia, masyarakat Tionghoa memiliki keunikan adat dan tradisi. Walaupun
masyarakat Tionghoa sudah menetap sangat lama di seluruh wilayah Indonesia
termasuk Semarang dan sudah beradaptasi dengan budaya Indonesia, tetapi ada
tradisi-tradisi dari tanah asalnya yang masih diterapkan di Indonesia. Salah
satu keunikan tradisinya ditampilkan dalam upacara adat perkawinan.
Upacara perkawinan merupakan hal yang
penting dalam budaya Tionghoa karena merupakan salah satu upacara daur hidup
seseorang. Upacara perkawina dilaksanakan sesuai dengan aturan agama yang
dipeluk oleh kedua mempelai dan ditambah dengan upacara tradisi ciotao.
Secara umum masyarakat Tionghoa di
Indonesia terbagi atas dua (2) golongan yaitu golongan Tionghoa Totok dan
Tionghoa Peranakan. Golongan Tionghoa Totok adalah golongan orang Tionghoa yang
dilahirkan di Cina, dan masih memegang teguh adat, tradisi dan kepercayaan dari
negeri Cina. Secara umum golongan Tionghoa Totok ini kurang beradaptasi dengan
budaya lokal. Golongan Tionghoa Peranakan adalah orang-orang Tionghoa yang
dilahirkan di Indonesia dan merupakan hasil perkawinan antara orang Tionghoa
dengan warga lokal serta sudah beradaptasi dengan budaya lokal.
Adanya etnis Tionghoa dengan adat dan
budayanya tentu akan menimbulkan pengaruh terhadap budaya bangsa Indonesia.
Budaya tionghoa tentu akan tersusupi budaya – budaya local Indonesia, begitu
pula dengan budaya local Indonesia sedikit atau banyak juga akan terpengaruhi
oleh budaya tionghoa. Budaya tersebut bisa menambah kaya budaya bangsa juga
dapat pula menjadi pengancam budaya local bangsa Indonesia.
B. Ruang Lingkup
Peneliian ini mencakup tentang
pengaruh adanya pengaruh budaya pernikahan tionghoa terhadap budaya bangsa
Indonesia
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan dari penelitian ini adalah
a. Mengetahui adat budaya pernikahan etnis Tionghoa di Indonesia
b. Mengetahui pengaruhnya terhadap budaya bangsa Indonesia
c. Mempertahankan eksistensi budaya bangsa Indonesia
d. Menyelesaikan kewajiban tugas mata kuliah umum Pendidikan
Kewarganegaraan
2. Manfaat dari penelitian ini adalah
a. Agar mahasiswa mengetahui budaya adat Tionghoa yang masuk ke
Indonesia
b. Agar mahasiswa mencintai budaya bangsa Indonesia sendiri.
c. Agar mahasiswa mau mempertahankan budaya bangsanya sendiri
BAB II
LANDASAN TEORI
Budaya
pernikahan Tionghoa tetap dilakukan oleh para keturunan Tionghoa yang tinggal
di Indonesia. Seperti halnya yang
dilakukan masyarakat Tionghoa yang tinggal di kampong Pecinan, Semarang. Mereka
menyelenggarakan adat nenek moyang mereka sejak dahulu.
Masyarakat
Indonesia sendiri memiliki adat pernikahan sendiri yang tentunya tidak kalah
bagusnya dan khas. Masing – masing suku di Indonesia memiliki adat pernikahan
sendiri yang sangat menarik untuk dikaji dan harus dilestarikan. Adanya adat
tionghoa tidak boleh menjadikan adat bangsa kita sendiri ditinggalkan oleh para
generasi yang akan datang. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka
Pembangunan Nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan kesenian yang mampu melahirkan
“nilai-tambah kultural”. Pakem-pakem seni (lokal dan nasional) perlu tetap
dilanggengkan, karena berakar dalam budaya masyarakat. Melalui dekomposisi dan
rekonstruksi, rekoreografi, renovasi, revitalisasi, refungsionalisasi,
disertai improvisasi dengan aneka hiasan, sentuhan-sentuhan nilai-nilai dan
nafas baru, akan mengundang apresiasi dan menumbuhkan sikap posesif terhadap
pembaharuan dan pengayaan (atau enrichment) karya-karya seni (Swasono,
2009).
Budaya
tionghoa tetap boleh dilakukan oleh mereka para etnis Tionghoa. Presiden Gus
Dur / K.H. Abdurrahman Wahid pada masa pemerintahannya telah mencabut larangan
terhadap aktifitas etnis Tionghoa. Berjalannya budaya asing tersebut harus
diimbangi dengan budaya bangsa Indonesia yang terus digiatkan. Adanya saling
menghormati budaya yang ada, dan tetap berjalannya budaya bangsa Indonesia
menjadi pertanda bahwa ketahanan budaya bangsa Indonesia masih tetap kuat.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
PENDEKATAN PENELITIAN
Esensi perkawinan bagi perempuan Tionghoa adalah untuk kepentingan
keberlangsungan pemujaan arwah leluhur dari pihak suami, pelayanan kepada suami
dan keluarga suami, melahirkan keturunan yang dapat melanjutkan pemujaan kepada
leluhur.
Dalam budaya Tionghoa tidak diharapkan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan kerabat dekat dengan status kekerabatan perempuan yang lebih tua,
misalnya perkawinan laki-laki dengan saudara atau sepupu ibu/ayahnya). Aturan
adat yang lain adalah sangat ditabukan seorang perempuan kawin mendahului kakak
perempuannya. Demikian juga seorang laki-laki tabu kawin mendahului kakak
laki-lakinya. Sebaliknya, adik perempuan boleh kawin mendahului kakak
laki-lakinya dan adik laki-laki juga boleh kawin mendahului kakak perempuannya.
Bila terjadi keadaan yang memaksa tidak ditaatinya adat ini, maka laki-laki
atau perempuan yang akan kawin harus memberikan barang kepada kakaknya yang dilangkahi
B.
LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi di kampong Pecinan,
Semarang. Alasan dipilihnya kampong pecinan semarang sebagai lokasi penelitian
adalah karena daerah ini merupakan daerah yang terkenal dengan daerah yang
banyak dihuni oleh orang – orang China / Tiongkok / Tionghoa. Lokasinya berada
di kota, lokasi mudah untuk dikunjungi dengan jalan yang bagus dan tidak macet.
C.
SUBYEK PENELITIAN
Sebjek dalam penelitian yang
berjudul Adat perkawinan di Etnis Tionghoa sebagai Cerminan Ketahanan Budaya
Bangsa adalah budaya adat perkawinan yang berlaku dalam masyarakat Pecinan,
Semarang.
D.
FOKUS PENELITIAN
Fokus penelitian ini adalah :
a)
Budaya adat perkawinan di
masyarakat Tionghoa khususnya di kampong pecinan, Semarang
b)
Dampak terhadap budaya
perkawinan bangsa Indonesia
c)
Ketahanan budaya perkawinan
adat bangsa Indonesia
BAB IV
PEMBAHASAN
Masyarakat
Tionghoa di Indonesia secara umum melakukan perkawinan melalui tahap-tahap
sebagai berikut :
A.
UPACARA ADAT PERKAWINAN
MASYARAKAT TIONGHOA.
Masyarakat
Tionghoa yang telah lama tinggal di Indonesia tidak meninggalkan budaya dari
negara asalnya, termasuk adat perkawinan. Walaupun adat perkawinan masyarakat
Tionghoa ini sudah mengalami percampuran dengan budaya setempat, tetapi warna
asli budaya Tionghoa masih sangat dominan. Upacara adat perkawinan Tionghoa
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Lamaran
Lamaran
dilakukan ketika kedua calon mempelai sudah saling mengenal dan melakukan
proses pendekatan (pacaran). Lamaran dilakukan oleh keluarga calon mempelai
laki-laki dengan cara mengirimkan utusan ke rumah pihak calon mempelai
perempuan. Lamaran dilakukan setelah ada kepastian bahwa lamaran akan diterima.
Kepastian terhadap penerimaan lamaran sangat penting, karena bila lamaran
ditolak akan menimbulkan sakit hati, malu dan kesedihan di pihak keluarga calon
mempelai laki-laki. Pihak kekuarga calon mempelai laki-laki tidak akan
menyentuh hidangan yang telah disajikan keluarga mempelai perempuan sampai ada
kepastiannya lamarannya diterima. Pada jaman dahulu kedua calon mempelai tidak saling
mengenal dengan calon istri atau calon suaminya, karena perkawinan diatur oleh
orang tua. Saat ini telah ada perubahan yang memungkinkan semua orang bergaul
secara terbuka dan memperoleh kesempatan yang luas untuk memilih pasangan
hidupnya. Pada saat akan meninggalkan rumah calon mempelai perempuan, ayah atau
utusan dari pihak calon mempelai laki-laki menyelipkan angpao yang
berisi uang di bawah cangkir minuman yang disuguhkan. Bila lamaran diterima,
sebagai balasan pihak keluarga calon mempelai perempuan memperikan tanda kasih
berupa perhiasan kepada calon mempelai laki-laki. Pada waktu lamaran sekaligus
ditentukan pula waktu untuk memberikan sanjit atau seserahan.
2.
Penentuan Saat Yang Baik Untuk Perkawinan.
Dalam adat
perkawinan masyarakat Tionghoa ada kebiasaan untuk menghitung peruntungan calon
mempelai melalui feng shui dengan menghitung unsur-unsur pada shio masing-masing.
Jika seandainya ditemukan ketidakcocokan, maka ada berbagai macam cara
pemecahan yang bisa dipilih berdasarkan perhitungan feng shui.
Perhitungan feng shui terkait dengan jam, hari, tanggal dan tahun
pelaksanaan perkawinan. Untuk menghitung saat yang baik ini diperlukan bantuan
seorang ahli kwamia sian atau feng shui sianseng (orang yang
sangat paham tentang perhitungan jam, hari, tanggal, bulan dan tahun yang baik
dan membawa keberuntungan).
3. Sanjit
(Seserahan)
Sanjit merupakan seserahan yang
berupa makanan dan buah-buahan yang ditempatkan pada tenong atau tempat
makanan dari bambu, yang jumlahnya harus genap. Selain makanan ada
barang-barang lain seperti pakaian, sandal, sepatu, alat make-up, accessories,
perhiasan, uang susu yang dibungkus kertas merah (angpao) dan
lain sebagainya. Barang-barang untuk seserahan dibawa oleh beberapa pemuda
dengan harapan agar para pemuda ini cepat mendapatkan jodoh.
Barang-barang
seserahan ini tidak diambil seluruhnya oleh keluarga calon mempelai wanita,
sebagaian dikembalikan termasuk uang susu.
4. Menghias
Kamar Pengantin
Setelah acara Sanjit
selesai, kedua keluarga baik dari pihak calon mempelai laki-laki dan
keluarga calon mempelai perempuan mempersiapkan acara menghias kamar pengantin.
Acara menghias kamar pengantin dilakukan seminggu sebelum acara perkawinan
diadakan. Pihak-pihak yang terlibat dalam acara menghias kamar pengantin adalah
keluarga yang sudah menikah dan pernikahannya harmonis. Hal ini dilakukan
dengan harapan perkawinan yang akan ditempuh kedua mempelai langgeng dan
harmonis. Ada kebiasaan yang unik yaitu sebelum ranjang pengantin ditata,
beberapa anak yang usianya 3- 5 tahun diminta meloncat-loncat di atas ranjang
pengantin. Makna dari tradisi ini adalah harapan agar pengatin cepat mendapat
keturunan.
Kamar
pengantin dihias dengan pernak-pernik yang didominasi warna merah. Warna merah
dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa adalah warna yang melambangkan
kebahagiaan. Kamar pengantin sebelum digunakan oleh pengantin, terlebih dahulu
digunakan untuk menidurkan bayi atau balita dengan harapan agar pengatin segera
mendapat keturunan. Kamar pengantin juga dihiasi dengan tulisan, gambar atau
puisi yang mengandung makna kebahagiaan abadi. Gambar yang lasim dipasang di
kamar pengantin adalah sepasang naga, sepasang burung Phoenix (burung Hong),
bebek dan binatang-binatang yang melambangkan kebahagiaan.
5.
Menyalakan Lilin
Beberapa hari
menjelang (biasanya 3 hari ) acara perkawinan ada tradisi yang wajib dilakukan
oleh kedua orang tua calon mempelai yaitu tradisi menyalakan lilin yang
berwarna mearah. Lilin dinyalakan pada dini hari (sekitar pukul satu) dan harus
tetap dijaga supaya menyala sampai tiga hari setelah acara pernikahan. Nyala
lilin sanyat dipercaya dapat mengusir bala dan pengaruh buruk serta bermakna
sebagai penerang kehidupan yang akan dijalani kedua mempelai.
6. Siraman
Pada pagi hari
sebelum dilakukan acara siraman calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
perempuan melakukan penghormatan dan pemujaan kepada leluhur di rumah
masing-masing. Selanjutnya acara siraman dilakukan terhadap calon mempelai
laki-laki dan calon mempelai perempuan di rumah masing-masing. Kedua calon
mempelai dimandikan dengan air yang diberi wewangian dan bunga mawar, melati,
kenanga dan daun pandan. Makna tradisi siraman adalah untuk membersihkan diri
dari segala hal yang buruk serta untuk menolak bala. Acara siraman ini
dilakukan oleh orang tua dari kedua mempelai dan kerabat dekat yang telah
menikah.
7. Menyisir
Rambut
Setelah acara
siraman selesai calon mempelai perempuan diberi pakaian putih dan diminta duduk
di atas kursi yang dialasi tampah besar yang terbuat dari bambu, yang
diberi gambar lambang yin-yang. Simbol yin-yang bermakna
keharmonisan dalam arti yang luas, yaitu keharmonisan hubungan antara sesama
manusia dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan
mahluk-mahluk yang ada di sekitarnya. Selanjutnya dilakukan upacara tradisi chio
thao yaitu tradisi menyisir rambut calon mempelai perempuan. Beberapa benda
pelengkap tradisi menyisir rambut calon mempelai perempuan, seperti alat
penakar beras yang penuh berisi beras, timbangan obat China, alat pengukur
panjang, cermin, sisir, gunting, pedang, pelita, benang sutera lima warna, yang
kesemuanya diletakkan di atas meja kecil di hadapan calon mempelai perempuan.
Benda-benda ini mengandung ajaran moral yang sangat berguna bagi kedua mempelai
dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Acara menyisir rambut calon mempelai
perempuan ini dilakukan oleh ibu atau kerabat perempuan yang harmonis rumah
tangganya dan memiliki keturunan yang baik. Calon mempelai perempuan akan
disisir sebanyak empat kali. Setiap kali menyisir akan diucapkan doa yang
maknanya sebagai berikut :
o
Sisiran pertama diucapkan doa yang bermakna ”hidup bersama
sampai akhir hayat”
o
Sisiran kedua diucapkan doa yang bermakna “rumah tangga yang
bahagia dan harmonis ”
o
Sisiran ketiga diucapkan doa yang bermakna “diberkati dengan
banyak keturunan yang baik”
o
Sisiran keempat diucapkan doa yang bermakna "diberkati
dengan kesehatan dan umur panjang”.
8. Makan 12
jenis sayur/hidangan
Setelah
upacara tradisi menyisir rambut calon mempelai perempuan selesai, calon
pengantin perempuan dirias dan mengenakan busana pengantin untuk melakukan
upacara tradisi ”makan duabelas jenis sayur/hidangan”. Tradisi ini dilakukan di
meja makan di rumah masing-masing mempelai. Di atas meja tersedia dua belas
macam hidangan yang masing-masing ditempatkan dalam dua belas mangkuk.
Hidangan-hidangan ini memiliki rasa yang berbeda yaitu, manis, asin, getir,
pahit, asam, hambar, pedas, gurih dan perpaduan dari berbagai rasa tersebut.
Makna dari dua belas macam rasa hidangan ini adalah bahwa hidup memiliki rasa
dan dinamika rasa yang silih berganti. Harapan yang terkandung dalam upacara
tradisi ini adalah kedua mempelai dapat kokoh bersatu melalui kemanisan, kepahitan,
kegetiran hidup.
Setelah
upacara adat ini selesai mempelai perempuan dalam busana pengatin dengan wajah
yang ditutup kerudung menanti kedatangan calon mempelai laki-laki.
9.
Menjemput Mempelai Perempuan.
Mempelai
laki-laki yang datang ke rumah mempelai perempuan disertai keluarga dan
kerabatnya disambut dengan taburan beras kuning, biji kacang hijau, biji kacang
merah, uang logam dan aneka bunga. Makna taburan beras, biji-bijian, uang logan
dan aneka bunga melambangkan kemakmuran yang diharapkan dapat dicapai oleh
kedua mempelai. Mempelai laki-laki kemudian dipertemukan dengan mempelai
perempuan yang masih mengenakan kerudung. Dalam pertemuan ini kerudung mempelai
perempuan belum boleh dibuka sampai saat mereka tiba di rumah mempelai
laki-laki. Kerudung penutup wajah mempelai perempuan ini melambangkan kesucian.
10.
Penyambutan Pengantin Perempuan
Di rumah
mempelai laki-laki terjadi kesibukan untuk mempersiapkan penyambutan kedua
mempelai. Ketika rombongan kedua mempelai datang, maka orang tua dan kakek/nenek
mempelai laki-laki menyambut kedua mempelai dengan taburan beras kuning, biji
kacang hijau, biji kacang merah, uang logam dan aneka bunga. Kedua mempelai
kemudian dibimbing oleh para kerabat menuju ke kamar pengantin. Di kamar
pengantin inilah kerudung mempelai perempuan dibuka oleh mempelai laki-laki.
Secara simbolik pembukaan kerudung ini menjadi lambang sahnya perkawinan ini .
B.
KETAHANAN BUDAYA
Ketahanan budaya ini tentu harus selalu
kita artikan secara dinamis, di mana unsur-unsur kebudayaan dari luar
ikut memperkokoh unsur-unsur kebudayaan lokal. Di sini kiranya perlu kita kemukakan bahwa
proses globalisasi, yang dikatakan dapat mempertajam “clash of
civilizations”,dan (menurut Samuel Huntington) juga dapat mengakibatkan
perusakan berat terhadap peradaban, kemasyarakatan dan kesadaran etnis (exacerbation
of civilizational, societal and ethnic self-consciousness,), tidak perlu
mengakibatkan pelumpuhan yang memarginalisasi eksistensi bangsa ini, selama
kita memiliki ketahanan budaya yang tangguh. Globalisasi yang terekspose
melalui media massa, khususunya televisi, sempat mendorong kepinggir berbagai
kesenian tradisional. Generasi muda kita makin kurang tertarik belajar dan mengembangkan
musik dan tari tradisional (gamelan, angklung, tembang langendrian
dst.). Bahkan baru-baru ini, sebagai salah satu contoh yang memprihatinkan,
kita telah kehilangan seorang penabuh gendang satu-satunya dalam seni drama makyong
di Riau Kepulauan. Dengan hilangnya komponen utama seni drama tradisionil
ini, maka bila kita ingin menjaga kelestariannya maka kita harus belajar dari
penabuh gendang di Kelantan, Malaysia. Ini hanya sebagian kecil dari contoh
keprihatinan yang lebih luas lagi (Swasono, 2009).
Masyarakat Indonesia sendiri memiliki
adat pernikahan sendiri yang tentunya tidak kalah bagusnya dan khas. Masing –
masing suku di Indonesia memiliki adat pernikahan sendiri yang sangat menarik
untuk dikaji dan harus dilestarikan. Adanya adat tionghoa tidak boleh
menjadikan adat bangsa kita sendiri ditinggalkan oleh para generasi yang akan
datang. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka Pembangunan Nasional perlu
bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan
kesenian yang mampu melahirkan “nilai-tambah kultural”. Pakem-pakem seni (lokal
dan nasional) perlu tetap dilanggengkan, karena berakar dalam budaya
masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Masyarakat Tionghoa di Semarang saat ini telah banyak yang memeluk agama
resmi yang diakui oleh pemerintah, seperti agama Budha, Kristen, Katolik dan
Islam. Masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang mempunyai keunikan dalam
beragama atau dalam melaksanakan kepercayaannya. Sebagian besar masyarakat
Tionghoa di Pecinan secara resmi memeluk agama Budha, yang merupakan salah satu
agama yang diakui pemerintah.
Upacara perkawinan menurut agama Budha di lakukan di kelenteng Tri Dharma
sesuai dengan ajaran agama Budha, Tao dan Confusius. Untuk masyarakat Tionghoa
yang sudah memeluk agama Kristen atau Katolik, upacara pernikahan menurut agama
dilakukan di gereja. Untuk Tionghoa muslim upacara perkawinan mengikuti kaidah
agama Islam.
Adanya adat budaya Tionghoa membuat keanekaragaman di Indonesia semakin
kaya dan menarik sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa yang perlu dipelihara.
Budaya local bangsa Indonesia tetap berjalan beriringan dengan adanya adat dari
Tionghoa. Ketahanan budaya terwujud dengan hal tersebut.
B. KRITIK DAN SARAN
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
.................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA